Aku udah gak heran kalau
rata-rata mahasiswa baru di tempatku kuliah banyak yang mengundurkan diri
setelah tau nilainya pada semester ganjil. Sebagai orang yang duluan kuliah di
tempat ini, aku paham betul gimana kondisinya. Masuk tiap hari, tutor tiap
hari, tapi tetep aja nilai masih E ketika ujian. Yah beginilah, belajar itu
emang sakit, kalau gak mau sakit gausah belajar. Jadi, sebagai senior aku udah
gak heran kalau ketika semester genap berakhir nanti, pasti banyak mahasiswa
baru yang bakal pindah lalu mendaftar SBMPTN lagi.
Dua tahun aku kuliah di tempat
ini, aku udah banyak kehilangan teman. Banyak dari mereka pindah yah karena
fasilitas kampus ini belum lengkap, banyak juga yang pindah karena kuliah
disini bukanlah passionnnya, tapi ada juga yang pindah karena dia keterima di
kampus yang lebih bagus. Jadi aku udah gak heran kalau dengan cerita mahasiswa
baru banyak yang pindah udah jadi tradisi soalnya.
Tapi, aku terkejut waktu dengar
cerita yang satu ini.
Jadi, waktu aku lagi makan di
tempat nasi uduk langganan, penjualnya, biasa kami panggil “bukde”, nanya ke
aku, “Kamu kenal si Udin yang tinggal di kosannya Pak Sentot, nggak?”
“Nggak bukde, kenapa memangnya?”
“sekarang dia udah gak disini
lagi, udah balik ke kampung. Semenjak nilainya rendah, dia gak pernah kuliah
dan akhirnya pindah.”
“oh… itu mah biasa, de. Aku udah
gak heran.”
“Padahal dulu, waktu pertama kali
nyampe kesini, orangtuanya itu bangga banget sama anaknya. orangtuanya itu,
kalau banggain anaknya, uh.. gak usah ditanyalah, parah kali pamernya. Yang
dibilangnya anaknya pintarlah, juara kelaslah, pokoknya sombong bangetlah itu
mamaknya.”
“Masih ada aja orangtua kek gitu
di dunia ini ya, de.. haha,” sambungku.
“Sekarang liatlah pas anaknya
dapat nilai rendah, mamaknya jatuh sakit katanya di kampung. Kakaknya pun
marah-marahin si anak ini karena nilainya rendahlah si mamak ini sakit. Makanya
dia gak pernah masuk lagi gara-gara itu.”
“Lah, emang ada hubungannya nilai
rendah sama penyakit. Masa’ gara-gara anaknya dapat nilai rendah, eh.. mamaknya
malah sakit,” jawabku heran.
“Yah, disini aja mamaknya
bangga-banggain anaknya setinggi langit, apalagi di kampungnya sana, ntah
gimana lagi lah dia banggain anaknya itu.”
“Kalau akusih, de, pertama, kasian liat anaknya tertekan karena dislaha-slaahin. Kedua, aku kasihan juga liat mamaknya jatuh sakit karena tau nilai si anak rendah. mungkin udah terlalu banyak berkorban makanya bisa sampe segitunya. Gimanalah
mental si anak sekarang ini. Disalah-salahin sama kakaknya karena nilainya rendah. Coba
aja kakaknya di posisi dia, bisa gak dia lebih baik.”
Gara-gara keasyikan ngobrol sama
bukde, nasi uduk yang kupesan pun jadinya dingin dan rasanya udah gak sesedap dimakan
pas masih hangat-hangatnya. Yah, ginilah kalau ngobrol sama penjual nasi uduk yang
penjualnya ibuk-ibuk, pasti ada aja bahan buat diceritain hehe…
Gini ya, belum tentu, seorang
juara kampung bisa menjadi juara kota saat dia merantau. Apalagi, yang selalu
juara kelas di SMA, belum tentu bisa jadi juara di kampus. Gak ada yang bisa menjamin.
Kampus adalah secuil tempat berkumpulnya semua tipe manusia yang ada di
Indonesia. Inilah contoh kecil dari masyarakat. Kalau di SMA kau hanya bersaing
dengan antar kota, kecamatan, kabupaten, di dunia kampus, kini kau bersaing
dengan siapapun dan darimanapun. Bahkan, teman sekamar mu jugalah sainganmu
sendiri.
Si anak tadi adalah salah satu korban
dari orangtua yang terlalu banyak berharap kepada anaknya. Ada banyak tipe-tipe
orangtua di dunia ini. Ada yang tetap mensupport anaknya walaupun dia tau kalau
anaknya itu lemah. Ada juga orangtua yang disiplin dalam mendidik anaknya dan
ada juga orangtua yang selalu berharap bahkan untuk harapan-harapan yang
terlalu tinggi yang bisa membuat si anak tertekan. Orangtua seperti inilah yang
biasanya selalu membanggakan prestasi anaknya di depan semua tetangga dan
memarahinya habis-habisan ketika si anak gagal.
Sudah sewajarnya, kita sebagai
anak menjadi harapan oleh orangtua, tapi, orangtua juga harusnya sadar, kita
hanyalah seorang anak, bukan dewa dan bukan robot yang bisa memenuhi semua
harapan mereka. Kadang kala kita sukses, kadang kala kita juga terjatuh dan
gagal berkali-kali. Orangtua seharusnya menerima setiap kesuksesan apalagi
kegagalan yang di dapat si anak dan itulah fungsinya orangtua. Ada disaat
sukes, dan mendorong bahunya dikala mulai berjuang, mensupport ketika kita gagal bukan hanya berharap anaknya sukses dan
ketika gagal memarahinnya habis-habisan. Dibalik seorang anak yang sukses, ada
doa orangtua yang terkabul dan dibalik semuanya itu, ada orangtua yang selalu
mensupportnya habis-habisan.
Aku bersyukur punya orangtua yang
gak berharap muluk-muluk dari anaknya. Yang penting, masih ada niat belajar
maka kami pasti akan dikuliahkan. Kalau saat ini bapakku hanyalah pegawai
TELKOM, dia berharap nantinya di masa depan aku bisa jadi melebihi dia.
Melebihi dalam hal apapun itu. Jika tidak bisa melebihi jabatannya, maka
ilmulah yang menjadi targetnya. Aku juga bersukur punya orangtua yang gak
pernah bilang, “kamu harus dapat IPK 3 ntar ya kuliah”, dia hanya bilang.
“Kalau bisa berusahalah dapat IPK 3 pas lulus..” meskipun tidak menuntut untuk
dapat IPK 3, aku sebagai anaknya juga pasti sadar, buat apa kuliah kalau pas
lulus nilainya gak sempurna. Maka dari itu aku berusaha buat dapetin angka 3
keramat ini dan alhamdulillah sampai sekarang aku belum bisa dapat. Aku
hanyalah satu dari ratusan orang yang juga IPK nya belum bisa 3. Dunia teknik
ini emang kejam!
Buat semua orangtua dimanapun
kalian berada, berhentilah membanggakan anak kalian di depan tetangga, saudara,
maupun di grup whatsapp keluarga.
Kalian tidak mendapatkan apapun saat kalian membanggakannya di depan semua
orang, percayalah itu hanya buang-buang waktu saja. Seorang anak tidak butuh
dibanggakan di depan orang, dia lebih butuh untuk diberikan dukungan dan
dorongan. Genggam tangannya ketika dia gagal, dorong semangatnya ketika dia mulai
berjuang, dan itulah sebenar-benarnya orangtua.
“Banyak anak yang menjadi korban dari harapan orangtua. Bukannya
mendukung, dia (orangtua) lebih sering berharap terlalu tinggi kepada anaknya. Bukan
bangga yang dirasakan si anak ketika menjadi yang diharapkan, yang ada malah
tertekan. Sebagai anak pun kita tau, semenjak lahir, kitalah harapan mereka,
tapi, please, anak juga manusia bukan robot yang bisa memenuhi semua harapan
orangtua. Adakalanya kita berhasil, ada kalanya juga kita gagal, jatuh
berkali-kali, dan disinilah fungsi orangtua, mensupport anaknya ketika gagal,
mendorong bahunya ketika mulai berjuang. Dan ketika berhasil, ingatlah,
dibalik orang yang berhasil ada doa orangtua yang terkabul dan dibalik semuanya
itu, ada orangtua yang selalu mensupport habis-habisan anaknya. kita juga sebagai anak, sebagai orang yang diharapkan sepantasnyalah berjuang habis-habisan karena kitalah alasan mereka (orangtua) berjuang/bekerja siang-malam untuk membiayakan biaya pendidikan kita.
*Nb: Aku menulis ini bukan karena masalah pribadi. Aku jenuh
setiap kali dengar kisah anak yang tertekan karena ditekan oleh harapan dari orangtua. Apalagi kisah anak yang berhenti kuliah karena gagal memenuhi ekspektasi orangtua.
Ali
Bin Abi Thalib RA bilang, “aku sudah pernah
merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap
kepada manusia.
BERHENTILAH BERHARAP!
Reviewed by Rizali Rusydan
on
March 17, 2017
Rating:
hmm.. saya sih gak pernah berhenti berharap ... kepada Allah SWT.
ReplyDeleteSalam kenal ya..
iya salam kenal juga
Delete