2017 bukanlah tahun yang spesial bagi setiap orang. Orang-orang selalu memiliki perasaan yang berbeda-beda. Semuanya sulit dijelaskan, karena perasaan sendiri itu sifatnya relatif dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi. Tahun ini mungkin menjadi tahun yang bahagia bagi Raisa dan Hamish Daud yang sudah melangsungkan pernikahan.
Di ujung dunia lainnya, mungkin ada orang yang sedang meratapi kesedihan karena baru saja berpisah dengan kekasih pujaan hatinya. Tak apa, dengan populasi manusia yang begitu banyak, tak mungkin semua orang di dalamnya bahagia. Jika semuanya bahagia, siapa yang harus bersedih? Tak ada air mata, yang ada hanya tawa, seakan-akan dunia tercipta untuk selamanya bagi mereka yang bahagia tapi tidak bagi mereka yang selalu menunduk dan menunggu berakhirnya dunia.
Hari itu kulihat seorang pemuda yang sedang berjalan menunduk menyusuri jalan yang dipenuhi dengan lumpur dan krikil. Dengan sepatu adidas yang terlihat cukup mencolok, dan jaket biru-hitam milik temannya, dia berjalan dengan tenang.
Gaya jalannya lucu, seperti seorang robot sangat kaku, dan sekali-sekali ketika kerumunan ramai lewat di sampingnya, dia terihat cukup kikuk dan bingung bersikap. Dia tau kalau gaya jalannya aneh, maka dari itu setiap melewati orang dia selalu menahan dirinya agar tak lagi mengulangi gaya yang sama.
Saat itu juga sedang gerimis. Rintik hujan mengguyur secara perlahan tapi tak juga menggetarkan langkah kakinya. Rintik hujan yang ada di sekelilingnya, jatuh menyerbu semua yang ada pada dirinya. Perlahan aku melihat ke arahnya yang kian menjauh, gerimis-gerimis yang membasahi tubuhnya seperti sebuah pasukan-pasukan kecil mimpi yang menyerbu ingin memasuki kepalanya.
Dari situ aku yakin kalau anak yang sedang berjalan itu sedang dianugerahi rezeki oleh Sang Penguasa. Dirinya tak henti-henti diserbu oleh hujan tapi tetap dia tak gentar, tak tunduk untuk mengalah.
Sosok anak tersebut sudah jauh tak terlihat di mataku. Dia sudah berjalan belok di jalan besar menuju gerbang utama kampusnya. Maka dari itu aku langsung memesan nasi uduk dan secangkir kopi guna menikmati hujan di pagi itu.
Nasi uduk dan kopi menjadi kombinasi yang pas bagi pagi hari yang sedang diguyur hujan. Tak ada lagi kenikmatan yang dapat kurasa selain dari mereka. Kunikmati satu-persatu secara perlahan, dan dalam 15 menit kemudian semuanya sudah ludes tak tersisa.
Sesekali aku membuka handphone dan mengecek instagram story berharap sesuatu yang unik dapat aku lihat. Isinya sama tak ada yang berbeda. Hampir semuanya hanya bualan belaka. Ada yang membagikan cerita tentang menghabiskan kegiatan di kampus bersama temannya, ada pula yang hanya selfie lalu menyelipkan emoticon jam di fotonya, ada juga yang iseng hanya membagikan moment yang menurut dia dapat dijadikan bahan untuk pamer bagi tiap pengikut di instagramnya.
Sama seperti mereka terkadang aku membagikan moment tak penting, membagikan cuplikan lirik dari lagu yang kusuka. Aku juga suka melakukan hal yang sama. Manusia memang sangat suka mengulang dan melakukan hal yang sama. Ntah apa dorongan yang membuat kita seakan-akan senang mengulangi kesalahan apa jangan-jangan itu hanya sekedar untuk menarik perhatian orang-orang yang menjadi pengikut di instagramnya?
Di serba digital ini semua orang ingin terlihat eksis dan diakui oleh lingkungan.
Tanpa sadar, waktu telah menunjukkan pukul 10.00, dua jam lebih sudah berlalu mulai dari aku makan, menghabiskan kopi, sampai membuka instagram untuk melihat kisah bodoh lainnya.
Anak yang tadi pagi kulihat kini berjalan mendekat menuju warung yang sama.
Dia masuk ke warung yang sama denganku. Duduk disebelahku. Kulihat wajahnya datar, seperti ada yang mengganggu dan menjadi beban pikiran untuknya.
Aku menjadi orang yang paling risih kalau tak bertanya, tanpa mengurangi rasa hormat aku memberanikan diri menanyakan apa yang sedang dia rasa.
Oh iya aku lupa, namanya Rasyid mahasiswa S1 Teknik Informatika. Senang berbicara tapi sulit mengungkapkan. Hobinya menulis sama denganku.
Rasyid, perlahan membuka mulutnya dan berbicara kalau belakangan dia terpikirkan akan satu hal,
"Dia tak merasa kalau impian besar yang sedang ditanggungnya terasa memberatkan. Dia juga tak keberatan bila menanggung beban harapan dari setiap orang. Dia hanya merasa gelisah tentang dirinya. Dia sedang berpacu dengan waktu untuk mengalahkan dirinya sendiri. Berlomba membunuh semua penghalang yang bisa membuatnya kalah. Tak ada yang lebih berat dibanding harus mengalahkan diri sendiri.
Kini katanya dia sedikit mulai ragu. Sehari, 24 jam, beberapa ratus menit dan ribuan detik, berlomba untuk melampaui diri sendiri dengan waktu sesingkat itu mungkin hal yang cukup sulit. Dia berharap ada waktu ekstra baginya agar dapat melapau batas diri.
Nilai kuliah yang lalu yang tak cukup baik juga mengganggunya sedikit. Banyak kelemahan yang ada pada diriku, tapi aku selalu mencari alternatif untuk menambalnya mengantinya dengan hal yang baru. Aku tau aku tak cukup jenius untuk mengubahnya, tapi aku akan berusaha. Disamping itu juga aku mencari sesuatu yang unik yang semua orang lain bisa kuasain, tapi harus akulah yang menjadi ahlinya. Begitulah caraku bang.."
Aku hanya mengangguk.
Menjelang umur 20 tahun, lo bakal dijejalin dengan banyak pertanyaan seperti yang dirasakan Rasyid. Rasyid yang selalu berjalan menunduk setiap hari sebenearnya bukan malu, dia hanya sedang mencari jalan keluar untuk menutupi semua kelemahannya agar dapat mencapai tujuan hidup yang dia inginkan.
Berkat Rasyid aku juga jadi kepikiran, beberapa bulan lagi aku masuk ke umur 20 juga. Apakah aku bakal merasakan hal yang sama seperti yang Rasyid rasakan? Apakah aku akan cukup galau? Karena jujur, aku orangnya terlalu ekspresif dan sering dibilang lebay.
Hari itu aku duduk bersama lelaki yang selalu berjalan tunduk yang ternyata permasalahannya ternyata sama denganku.
Sesampainya di kos, Rasyid melakukan hal-hal seperti biasanya. Menghidupkan laptop, ganti baju, menanak nasi, lalu menunggunya sambil menonton youtube. Sesekali dia membuka blog pribadinya hanya untuk mengecek komentar yang masuk.
Rasyid hidup di jaman dimana konten digital seperti video lebih dinikmati oleh semua kalangan ketimabang tulisan yang dibuatnya. Rasyid menjadi salah satu korbannya. Suka menonton youtube tapi masih membuat konten tulisan di blog pribadinya.
Mimpi menjadi penulislah yang menggiringku untuk tetap menulis. Entah kenapa bisikan-bisikan itu terdengar di kuping tiap kali aku malas membuat tulisan.
Dalam hati kadang aku merasa kalau tulisanku belum cukup layak untuk dibagikan dan dibaca oleh orang banyak. Aku harus masih belajar! Aku tak peduli dengan begitu banyak cemoohan tapi karena aku tak sempurna cemoohan itu kadang masuk dan mengisi bagian paling gelap dalam hati. Seakan-akan keinginan untuk membuktikan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Bukan cuma cemoohan, sadar sebagai mahasiswa yang tak terlalu pintar, Rasyid juga menyadari banyak kekurangan dalam dirinya. Banyak kebolongan yang bisa ditambal namun waktu menjadi penghalangnya. Bukan cuma berperang dengan diri sendiri, Rasyid juga berperang melawan waktu.
Disatu sisi dia memperbaiki diri, disisi satunya lagi waktu sibuk menggerogoti.
"Ah.. sial," pikirnya dalam hati.
"Kenapa harus ada satu hari dimana usiamu menjelang 20-an pikiran-pikiran seperti ini ada. Seperti membebani diri sendiri dan selalu terpikir mengenai kelemahan diri sendiri yang membuat aku terus-terusan berpikir bisakah aku menggapai semua hal yang telah kumimpi? Kapan semua ini dimulai dan kana semua ini berakhir?"
Pikiran-pikiran tersebut masuk menyerbu tiap kepala yang selalu berpikir gelisah menjelang 20-an. AKu harap kau juga merasakannya.
Menjadi orang yang tiap tahun menua bukanlah sebuah kekejaman. Pada masanya itu semua akan datang. Perlahan namun pasti, mengikis sisa umur, dan tanpa terasa rambut putih mulai bertebaran di atas kepala seakan-akan ada orang yang sengaja menyemainya.
Rasyid, aku, maupun lo dan mereka bakal mengalami hal yang sama menuju langkah yang lebih dewasa. Kita disatukan oleh satu garis besar massa. Sebagai penanda kalau hidup bukanlagi sebuah gurauan. Kini hidup harus lebih serius, merencanaknnya dengan matang dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Massa menjadi penentu dimulai dan diakhirinya perang dengan diri sendiri.
Kalah-menang bukanlah hasilnya, melainkan malu-bangga, itulah hasilnya. Dengan semua kegilaan mimpi-mimpi besar yang dimimpikan ketika remaja seharusnya kita sadar kalau itu akan menjadi jalan yang berat. Mimpi yang nantinya menjadi batu sandungan untuk hidup mungkin terasa sulit untuk ditaklukan.
Kini Rasyid tak lagi berjalan menunduk, aku melihatnya berjalan dengan bangga seaka-akan kini dia sudah menemukan jawabannya Tak mau lagi aku bertanya, aku takut pendapatku merubah jawabannya. Kilauan cahaya tipis terpantul dari kacamatanya dan disitulah aku yakin kalau ini anak suatu saat akan bersinar menerangi mimpi-mimpinya yang gelap.
Sesampainya di kos, Rasyid melakukan hal-hal seperti biasanya. Menghidupkan laptop, ganti baju, menanak nasi, lalu menunggunya sambil menonton youtube. Sesekali dia membuka blog pribadinya hanya untuk mengecek komentar yang masuk.
Rasyid hidup di jaman dimana konten digital seperti video lebih dinikmati oleh semua kalangan ketimabang tulisan yang dibuatnya. Rasyid menjadi salah satu korbannya. Suka menonton youtube tapi masih membuat konten tulisan di blog pribadinya.
Mimpi menjadi penulislah yang menggiringku untuk tetap menulis. Entah kenapa bisikan-bisikan itu terdengar di kuping tiap kali aku malas membuat tulisan.
Dalam hati kadang aku merasa kalau tulisanku belum cukup layak untuk dibagikan dan dibaca oleh orang banyak. Aku harus masih belajar! Aku tak peduli dengan begitu banyak cemoohan tapi karena aku tak sempurna cemoohan itu kadang masuk dan mengisi bagian paling gelap dalam hati. Seakan-akan keinginan untuk membuktikan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Bukan cuma cemoohan, sadar sebagai mahasiswa yang tak terlalu pintar, Rasyid juga menyadari banyak kekurangan dalam dirinya. Banyak kebolongan yang bisa ditambal namun waktu menjadi penghalangnya. Bukan cuma berperang dengan diri sendiri, Rasyid juga berperang melawan waktu.
Disatu sisi dia memperbaiki diri, disisi satunya lagi waktu sibuk menggerogoti.
"Ah.. sial," pikirnya dalam hati.
"Kenapa harus ada satu hari dimana usiamu menjelang 20-an pikiran-pikiran seperti ini ada. Seperti membebani diri sendiri dan selalu terpikir mengenai kelemahan diri sendiri yang membuat aku terus-terusan berpikir bisakah aku menggapai semua hal yang telah kumimpi? Kapan semua ini dimulai dan kana semua ini berakhir?"
Pikiran-pikiran tersebut masuk menyerbu tiap kepala yang selalu berpikir gelisah menjelang 20-an. AKu harap kau juga merasakannya.
Menjadi orang yang tiap tahun menua bukanlah sebuah kekejaman. Pada masanya itu semua akan datang. Perlahan namun pasti, mengikis sisa umur, dan tanpa terasa rambut putih mulai bertebaran di atas kepala seakan-akan ada orang yang sengaja menyemainya.
Rasyid, aku, maupun lo dan mereka bakal mengalami hal yang sama menuju langkah yang lebih dewasa. Kita disatukan oleh satu garis besar massa. Sebagai penanda kalau hidup bukanlagi sebuah gurauan. Kini hidup harus lebih serius, merencanaknnya dengan matang dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Massa menjadi penentu dimulai dan diakhirinya perang dengan diri sendiri.
Kalah-menang bukanlah hasilnya, melainkan malu-bangga, itulah hasilnya. Dengan semua kegilaan mimpi-mimpi besar yang dimimpikan ketika remaja seharusnya kita sadar kalau itu akan menjadi jalan yang berat. Mimpi yang nantinya menjadi batu sandungan untuk hidup mungkin terasa sulit untuk ditaklukan.
Kini Rasyid tak lagi berjalan menunduk, aku melihatnya berjalan dengan bangga seaka-akan kini dia sudah menemukan jawabannya Tak mau lagi aku bertanya, aku takut pendapatku merubah jawabannya. Kilauan cahaya tipis terpantul dari kacamatanya dan disitulah aku yakin kalau ini anak suatu saat akan bersinar menerangi mimpi-mimpinya yang gelap.
Kegelisahan Menjelang Umur 20-an
Reviewed by Rizali Rusydan
on
September 13, 2017
Rating:
Nice artikelnya gan.
ReplyDeleteSaya melewati 20 tahun biasa saja Tak Ada apa2 kok
ReplyDelete