Aku percaya kalau membongkar ingatan masa lalu dan menceritakannya lagi di masa kini membutuhkan usaha yang ekstra. Ibaratnya seperti mengencangkan baut-baut usang yang ada di kepala. Mengingat-ingat cerita lama demi sebuah kisah tentang anak kelas 4 SD yang berpacaran dengan kakak kelas yang juga baru kelas 6 SD.
Cerita ini mundur 2 tahun sebelum cerita 'Cinta Monyet Pertama'. Bagi kalian yang belum baca, bisa dibaca disini: Cinta Monyet.
**
Sejak kelas 4 SD aku udah terbiasa pulang sekolah sendiri. Bagaimana caranya naik dan memilih angkot, dan mesti turun di mana, aku bisa melakukannya sendiri. Bagiku itu bukanlah hal yang sulit. Karena cuma ada satu angkot yang menuju ke rumah dan tujuan akhirnya pun dekat dengan rumah.
Mulai saat itu naik angkot menjadi rutinitas sehari-hari. Kadang sangking bosannnya, aku lebih sering tidur. Tentu hal tersebut menjadi hal yang mengkhawatirkan. Untuk anak sekecilku yang pulang sekolah naik angkot sendirian, lalu tidur di sepanjang perjalanan, bisa saja suatu waktu aku jadi korban penculikan. Tapi kalau harus diingat-ingat lagi, keknya di masa itu aman-aman aja. Mungkin para penculik tau gak ada gunanya menculikku. Udah badan kecil, kurus, banyak makan, tainya bau lagi. Mereka paham tak ada gunanya menculik bocah kurus yang cacingan. Gak ada harganya kalau dijual!
Namun di suatu siang, hari-hari membosankan naik angkot sirna. Karena saat ini, tepat di seberangku, duduk seorang siswi yang mengenakan seragam sekolah serupa. Kuperhatikan setiap sudut tubuhnya hanya untuk memastikan. Dan yang muncul pertama kali di kepalaku hanyalah satu kata, "Sempurna".
Baik itu mata, alisnya yang lentik, serta seragam yang tetap bersih meskipun sudah jam pulang sekolah. Saat itulah aku percaya bahwa tak semuanya bidadari itu bersayap. Nyatanya, sekarang dia muncul tepat di hadapan. Semua kalimat tersebut muncul dari pikiranku, seorang anak SD yang sangean.
Semesta tau bagaimana caranya mendukung orang yang sedang jatuh cinta. Beberapa hari setelah pertemuan pertama, dengan caranya sendiri, kami kembali dipertemukan. Ini pasti konspirasi alam semesta! Mulai saat itu sebagai siswa SD yang lugu tapi sangean, aku sadar kalau yang kurasakan saat ini adalah apa yang mereka sebut sebagai cinta pada pandangan pertama.
Selanjutnya menjadi hal yang membuatku gelisah. Karena selain aku harus tau siapa namanya, ternyata dia tinggal di komplek yang sama. Aku buntu. Akal-akal bejad kala itu tak mau bekerja sama.
Di dalam angkot yang sepi, tiba-tiba saja Dela mengulurkan tangan mengajakku salaman.
"Dela," ucapnya.
Aku gugup tak karuan.
"Rizal," balasku salah tingkah sambil menjabat tangannya.
"Kamu tinggal di Komplek Perumnas juga, kan?"
Aku mengangguk.
"Blok apa?" tanyanya lagi.
"Aku di Blok: AU. Kalau kamu?"
"Kalau aku di Blok: AJ."
"Kapan-kapan kita pulang bareng lagi ya. Biar aku ada temen pulang."
Sehabis dia mengucapkan kalimat tersebut, rasanya aku ingin terbang. Terima kasih Tuhan. Meskipun aku bocah SD yang sangean, Engkau telah memudahkan cara agar aku bisa mengenalnya.
**
Setelah itu kami selalu pulang bareng. Hari-hari membosankan di angkot, tidur di sepanjang perjalanan, semuanya berubah sejak aku mengenal Dela. Bahkan pulang sekolah naik angkutan menjadi hal yang paling kunanti-nantikan.
Ketahuilah kawan, tidak ada hal yang istimewa dari kisah cinta anak SD. Kalau lo mengira beli Es Kiko lalu dibagi 2 itu romantis, kau salah. Itu karena aku miskin. Pergi jalan-jalan berdua ke mall sambil bergandengan tangan? Itu juga enggak romantis. Kami malah terlihat seperti dua bocah yang sedang tersesat.
Meskipun begitu, aku masih mengingat beberapa momen yang menurutku romantis. Lebih ke menjijikkan sih, sebenarnya. Salah satunya adalah ketika ada razia mendadak di sekolah.
Siang itu, ketika sedang belajar di kelas, Guru BP sekonyong-konyong melakukan razia kelengkapan atribut. Mulai dari: dasi, ikat pinggang, sampai badge sekolah. Biasanya razia dilakukan setiap hari jumat dan satu bulan sekali. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah bagiku. Karena setiap hari, 6 hari dalam seminggu, tak pernah sekalipun aku lupa memakai perlengkapan tersebut. Bisa lo bayangkan seperti apa penampakanku waktu itu. Udah kecil, hitam, bedak ketebalan sampai belang, ditambah semua atribut yang melekat, penampilanku lebih mirip jenglot yang dipakein seragam dengan bedak yang ketebelan ketimbang siswa sekolah dasar.
Tiba-tiba Dela mendatangi kelasku. Lalu meminta izin kepada guru yang sedang mengajar saat itu agar aku bisa keluar menemuinya. Bisa-bisanya hari itu dia lupa memakai ikat pinggang dan untuk itulah dia datang dan meminjam ikat pinggang yang kukenakan. Selepas ikat pinggang tersebut kuberikan, sambil berlari menuju kelasnya, dia berseru, "Makasih ya! Aku pinjam dulu. Nanti kukasih pas pulang.". Aku merasa seperti cowok paling gentle di dunia saat itu juga. Karena akhirnya sebagai pacar aku bisa diandalkan.
Momen romantis bersama Dela tidak berhenti sampai di situ
Pernah di suatu sore, tepatnya hari sabtu, seperti yang kita tau bahwa sabtu sore adalah waktu yang tepat bagi bocah-bocah komplek ingusan untuk ngedate bareng pacar. Hari itu, sepulang sekolah, aku sudah janjian dengan Dela untuk ketemuan di lapangan sebelah masjid sehabis aku pulang dari mengaji.
Di jalan pulang dari tempat ngaji, sambil mengendarai sepeda bersama temanku Robi, aku kepikiran untuk menantangnya balap sepeda. Bukan balap sepeda beneran, melainkan sebuah skenario di mana pada balapan tersebut akulah yang mesti jadi juaranya. Jadi, sebelum melewati garis finish, aku memintanya untuk mengalah dan membiarkanku menang. Aku mesti menyogok Robi dengan es tebu hingga akhirnyan dia mau. Sungguh pertemanan yang picik.
Dela sudah berada di pinggir lapangan saat kami tiba. Aku pun segera menghampirinya.
Sore itu Dela terlihat anggun. Duduk sambil menggenggam es lilin di tangan kanan bak Puteri Jasmine yang sedang menunggu Aladdin tiba. Dela memberiku pemahaman tentang apa itu kecantikan. Karena cantik baginya itu mudah. Cukup dengan cara yang sederhana sambil menggenggam es lilin di tangan. Itulah definisi dari cantik dengan cara yang sederhana tapi juga murahan.
"Entar ya, aku mau balap sepeda dulu. Kamu tunggu di sini."
"Hmm.."
"Oh iya, kamu mau enggak jadi jurinya?" pintaku.
"Oke."
Kami memilih jalan setapak yang mengelilingi lapangan sebagai lintasannya. Menurutku, ini adalah lintasan terbaik. Karena selain bentuknya yang melingkar, terdapat beberapa tikungan tajam di setiap sisinya.
Aku dan Robi segera bersiap di atas sepeda.
"Gimana, semuanya siap?" ucap Dela.
"1, 2, 3, mulai!"
Saat itu juga langsung kukayuh sepeda seperti orang kesetanan. Karena ini balapan 3 putaran, maka dipastikan siapa yang staminanya paling kuat, dialah yang akan menjadi pemenangnya.
Aku dan Robi mengayuh sepeda layaknya Valentino Rossi dan Marc Marquez saat sedang memacu kuda besinya di lintasan. Jalan setapak lintasan terasa seperti sirkuit Mugello yang fenomenal di Italia.
Hingga lap kedua, aku masih memimpin namun dengan selisih yang tipis. Memasuki lap ketiga, aku mulai kelelahan dan momen tersebut dimanfaatkan Robi untuk segera melaju menyusul ke depan. Perlahan namun pasti, dia meninggalkanku di belakang.
Kini yang bisa kulihat hanyalah punggungnya. Sementara tenagaku habis meluap entah kemana, jarak kian melebar. Aku semakin jauh tertinggal. Robi mulai mendekati garis finish. Hanya butuh satu tikungan lagi, makan dia akan jadi pemenangnya.
Sesuai dengan apa yang kami rencanakan sebelumnya, pada tikungan terakhir seharusnya Robi memacu sepedanya pelan lalu membiarkanku lewat dan menang. Namun tak kulihat tanda-tanda dia akan melakukannya.
Di tengah-tengah momen putus asa tersebut, semangatku kembali nyala saat tau Dela mendukungku dari pinggir lapangan. Ini kesempatan terakhir, pikirku. Di tikungan tajam itu aku akan menyusulnya.
Rencananya aku akan menyusulnya dari sebelah kiri. Aku tau itu nekat. Karena tepat di sebelah kiri tikungan terakhir, terdapat Pohon 'Roda' yang diameternya hampir 2 meter. Ditambah lagi Robi pasti akan mencoba menghalang-halangi agar aku tak bisa melewatinya begitu saja.
Kukayuh pedal sepedaku sekuat tenaga. Aku segera menuju ke celah di sebelah kirinya. Tepat seperti dugaanku sebelumnya kalau Robi akan menghalang-halanginya. Maka semakin kesetanan pula aku mengayuh pedalnya. Sembari menikung tajam, aku terus mengayuh, hingga sesekali pedal sepeda kami saling beradu. Dan tepat saat ketika aku akan menyusulnya, "Brakkkk..."
Kami bertabrakan.
**
Sesaat sebelum ingin menikung, aku yakin bisa menyusul Robi dari situ. Namun dia lebih gigih dari yang kuduga. Balap sepeda yang seharusnya jadi pentas untuk menunjukkan siapa pemenang dan siapa pecundang, malah jadi pentas bagi kami untuk terkapar di tengah jalan.
Kami berdua terkapar di tengah-tengah jalan. Busa yang melindungi shock depan sepedaku hancur berhamburan. Aku bangkit untuk melihat bagian tubuh mana saja yang luka. Telapak tangan sobek, lutut lecet-lecet, dan lubang pantat terasa perih. Ini akibat aku jatuh lalu terpelanting tepat di atas jok sepeda sebelum akhirnya tersungkur dan terkapar.
Dela yang melihat kejadian tersebut, langsung berlari ke warung dan membeli obat merah. Setelah itu dia langsung menghampiri kami berdua.
Sore itu berakhir tak seperti yang kuduga. Setelah membereskan sepeda yang tercecer di tengah jalan, Aku dan Dela pergi ke pinggir lapangan sedang Robi langsung pulang ke rumah. Dela mengoleskan obat ke telapak tangan disusul dengan wajahnya yang cemas. Aku tau dia khawatir tapi bagaimana lagi aku bisa membuatnya bangga menjadi pacarku selain hal-hal bodoh seperti balapan sepeda contohnya. Aku hanyalah anak kelas 4 SD saat itu. Yang begitu naif saat pertama kali merasakan jatuh cinta.
Hari semakin sore. Matahari mulai sembunyi dan jalanan kian sepi. Anak-anak bersiap pergi ke masjid. Ini saatnya bagi kami untuk pulang. Sebelum berpisah, kami berdua berjanji untuk bertemu kembali malam nanti.
Sebelum pulang, dia memegang tanganku, lalu mencium bagian telapak tanganku yang sobek. Itulah ciuman pertamaku. Meskipun hanya di telapak tangan, aku senang.
**
Karena ceritanya masih cukup panjang, aku sambung dipostingan selanjutnya ya!
Selamat membaca.
Semoga suka.
CInta Monyet: Dela
Reviewed by Rizali Rusydan
on
August 10, 2020
Rating:

No comments: