Kini,
nongkrong di kedai kopi tidak lagi bisa dikatakan sebagai sebuah hobi. Hal tersebut sudah menjadi kebutuhan dan gaya
hidup. Sebelum nongkrong di kedai kopi menjadi sebuah gaya hidup, orang-orang Melayu,
Aceh, sudah lebih dulu melakukannya. Mereka tidak butuh dorongan film, quotes-quotes
bijak nan agung, serta puisi yang merayu untuk membuat mereka minum kopi.
Sejak
film Filosofi Kopi (2015) ramai diperbincangkan, satu-persatu kedai
kopi mulai bermunculan. Dan sejak saat itu minum kopi perlahan menjadi tren. Kedai-kedai
kopi juga tak lagi hanya menjual kopi mereka, tapi juga berbagai macam
fasilitas tambahan. Wifi gratis dan juga tempat foto menarik. Dan harga segelas
kopinya beragam. Lain kedainya, lain pula harganya, meskipun jenis kopi yang
digunakan sama. Namun semua itu bisa dihitung dari fasilitas yang disediakan.
Dewasa
ini, orang minum kopi bukan hanya ingin menikmati kopinya, tapi juga menikmati
fasilitas yang disediakan. Hal inilah yang menjadi pembeda di masing-masing kedai
kopi dan ini pula yang membedakan orang-orang yang nongkrong di dalamnya. Kedai
kopi dengan fasilitas mewah akan diisi oleh mereka yang berasal dari golongan
berada. Sedangkan masyarakat biasa akan cenderung memilih nongkrong di kedai
kopi dengan fasilitas standar.
Namun
itu pilihan. Bukan berarti masyarakat golongan menengah tidak boleh ngopi di
tempat yang mewah, dan begitupun sebaliknya, mereka yang dari golongan berada
tidak boleh ngopi di kedai kopi biasa. Yang namanya pilihan, setiap orang bebas
menentukan. Selama budgetnya cukup, aku kira itu bukan masalah.
Kedai
kopi menjadi simbol yang sempurna untuk melambangkan toleransi. Di sana, semua
manusia dari berbagai macam latar belakang pekerjaan, pendidikan, hobi,
keluarga—menyatu, duduk bersama menikmati kopi yang disuguhkan. Meskipun kita
tak bisa menyangkal bahwa sejak minum kopi dianggap sebagai sebuah gaya hidup, toleransi
tersebut perlahan memudar. Kedai kopi bukan lagi tempat berbaur bagi warga dari
setiap golongan.
Aku
dan teman-temanku bisa 3 sampai 5 kali nongkrong di kedai kopi. Tanpa pernah lelah, tanpa pernah
bosan. Tapi ada momen di mana setidaknya sekali dalam seminggu kami bersafari
ke kedai-kedai kopi lain. Biasanya itu hari kamis, saat temenku yang barista libur.
Aku nggak ngerti gimana dunia barista bekerja dan komunitasnya sampai kami
harus berkunjung ke kedai kopi lain. Kalau kata temenku, wajib kiranya sesama barista
saling mengunjungi satu sama lain di kedai kopi tempat mereka kerja. Entah hanya
sekedar main, sharing tips, atau santai sambil menikmati kopi.
Selasa,
Rabu, Jumat, Sabtu, nongkrong di kedai kopi langganan. Kamis bersafari ke kedai
kopi lain. Begitu terus. Seolah-olah ginjal kami terbuat dari baja kuat yang
nggak akan gagal ginjal karena kebanyakan ngopi.
Kebiasaan
nongkrong di warung kopi sudah seperti budaya bagi kami. Mengingat budaya itu
tersendiri tercipta melalui perilaku dan aktivitas manusia sehari-hari, maka
tak salah kalau kami berpikir nongkrong di kedai kopi adalah budaya kami.
Semua
itu terjadi karena kedai kopi seolah punya magisnya tersendiri. Di tempat ini,
semua orang akan bersosialisasi. Dan saat di kedai kopi pula ciri khas warga
Indonesia, ramah-tamah, juga akan terlihat. Dimulai dari barista, pelayan,
sampai orang yang datang berkunjung. Selama di tempat ini pula aku merasa kalau
aku dan temanku nggak akan pernah kehabisan obrolan. Pasti ada aja yang akan
dibahas.
Di
manapun kedai kopinya, pasti ada kisah menarik di dalamnya. Bahkan salah seorang
penulis pemenang nobel, sekaligus salah satu sastrawan terbesar Eropa, Ernest
Hemingway, pernah bilang: “..kalau kau
ingin tahu kondisi politik sebuah negara, datanglah ke kedai kopinya dan
dengarkan apa yang mereka bicarakan.”
Di
Eropa, tepatnya di Prancis, nongkrong di kedai kopi merupakan rutinitas sehari-hari.
Salah satu tokoh paling berpengaruh abad ke-19, Jean Paul Sartre, juga kerap nongkrong
di kedai kopi bersama rekan-rekannya: Maurice Merleau-Ponty, Albert Camus,
terutama Simone de Beauvoir.
Dari
sanalah gagasannya yang paling fenomenal soal filsafat eksistensialisme lahir. Entre en soi. Entre por soi. Meskipun Soren Kierkegaard adalah orang pertama yang
memperkenalkan filsafat eksistensialisme, namun Sarte sukses membawa
eksistensialisme berada di level yang berbeda. Dari kedai kopilah revolusi pemikiran
tersebut muncul. Itu masih dari Sartre, belum lagi soal gagasan feminisme
menurut Simone de Beauvoir, absurdisme ala Albert Camus, dan pemikirannya Maurice
Merleau-Ponty.
Sedari
dulu kedai kopi sudah menjadi tempat semua orang berkumpul. Menjadi tempat paling
tepat untuk membicarakan politik maupun melahirkan sebuah revolusi. Kedai kopi memang
erat kaitannya dengan revolusi. Hal itu sudah dibuktikan oleh Jean Paul Sartre
dkk..
Semoga
kelak kita semua bisa seperti Sartre, menciptakan revolusi kita sendiri dari
obrolan dan mimpi yang kerap kita ucapkan di kedai kopi. Dan semoga resolusi,
mimpi, revolusi yang kita ucapkan di kedai kopi bisa terealisasi agar tidak kembali
berakhir jadi mimpi.
No comments: