Menulis menjadi hobi utamaku. Jadi kalau ada form fomulir yang di dalamnya harus mengisi tentang "hobi": membaca dan menulis kujadikan pilihan utama.
Kenapa harus membaca dan menulis bukannya menulis dan membaca, kan sukanya menulis?
Yah, kurang lebih aku bisa nulis karena banyak baca. Semakin aku banyak baca, perbendaharaan kataku semakin banyak, mengarang alur cerita pun rasanya lebih gampang. Membaca menjadi keran utama untuk menghasilkan kata-kata dan menulis menjadi media untuk menyalurkannya kedua hal ini gak bisa dipisahkan.
Tapi belakangan ini aku merasa kalau tulisanku gak berkembang. Aku seperti hanya berputar-putar di tempat yang sama, tak ada lagi yang bisa di raih, bahkan ide awal blog ini yang tadinya untuk menceritakan hal-hal lucu di dalam hidupku perlahan berubah.
Aku menulis menjadi lebih serius. Aku kehilangan sense of humor. Jujur, ini juga berkaitan dengan diriku yang tak pernah lagi membaca dan membeli buku-buku humor seperti miliknya Raditya Dika dulu. Hidupku perlahan berubah menjadi lebih serius.
Terkadang ditengah-tengah saat sedang nulis, aku sendiri kehilangan feel dalam menulis. Aku gak merasa sebahagia dulu lagi jika harus menulis.
Kehilangan rasa humor dalam tulisan sangat menpengaruhiku. Awalnya aku ingin menulis cerita lucu, lalu menerbitkannya menjadi buku, entah itu cerita komedi yang dibalut dengan cerita romantis, atau murni semuanya cerita komedi.
Itulah awal mulanya aku punya niat untuk terus mengasah kemampuan menulisku. Sayangnya, sebagian besar tulisan yang laku di Indonesia itu tentang cinta. Dan masa-masa jatuh cinta itu berakhir ketika aku lulus dari SMA.
Masa-masa jatuh cintaku berakhir ketika lulus SMA bukan berarti setelah lulus aku menjadi homo, lebih memilih menikahin Tejo dibanding Nabilah. Bukan.
Pacaranku tidak seseru jaman SMA dulu. Tidak ada lagi kisah bodoh di dalamnya, maupun kisah sedih yang sakitnya membakar sampe-sampe aku dibuatnya susah tidur. Enggak ada. Semuanya berubah menjadi real, tak ada lagi kebodohan diantara aku maupun pacarku.
Semakin dewasa, aku semakin ngerasa kalau gaya tulisanku sendiri berubah pesat. Mulai dari yang awalnya alay, masih suka salah ngasih tanda baca atau nulisnya besar kecil, sampai bisa sepanjang dan seserius ini.
Awal mula aku terjun ke dalam dunia menulis ini hanya karena di dorong oleh rasa galau belaka. Aku habis putus, aku galau, aku bingung harus kemana lagi mencurahkan perasaan. Di sosial media? gak mungkin. Sampai aku tau, blog milik temanku atau bisa dibilang rivalku kedepannya. Yang isinya tentang kegalauan, atau cerita lucu yang pengen didapatkannya selama hidup.
Aku tau kalau aku tidak bisa menjelma menjadi sosok Leonardo da Vinci maupun Van Gogh, karena rasa cintaku akan seni tak sebesar mereka.
Aku juga tau kalau aku tak bisa menjelma menjadi si jenius, Mozart, Kreisler, Chopin, maupun Bethoven, karena aku tau aku tak memiliki jiwa musik seindah mereka.
Aku hanyalah seorang anak biasa yang saat ini sedang berusaha mengembangkan sayap dan menjelma menjadi sosok Kahlil Gibran, Sudjiwo Tejo, maupun Sapardi Djoko Darmono, yang tumbuh di era digital yang semuanya serba canggih.
Terjun ke dunia blog untuk pertama kalinya membuatku gugup. Jari-jari tanganku terbata-bata untuk menulis cerita yang panjang karena tak terbiasa menulis. Penulisanku alay, sampai kadang bingung sendiri mau nulis apa setalah pindah ke paragraf selanjutnya.
Untungnya, saat itu aku menemukan rival blog semasa SMA-ku. Jadinya aku memiliki batu loncatan dan rasa untuk mengalahkannya menjadi seorang blogger jenius semasa SMA meluap-luap.
Aku tak terlalu mengenal dirinya, begitu pula dengannya. Kami hanya mengenal sekilas, itu pun karena perkelahian bodoh antara aku dan temannya yang saat itu menjadi pacar dari mantanku yang seminggu lalu baru mutusin aku. Kami hanya kenal sebatas itu.
Tahun-tahun awal menulis aku berharap kalau melalui tulisan aku akan mendapat bayaran. Impian yang konyol banget untuk anak kelas 2 SMA masa itu dengan tulisan yang sangat amburadul. Kugenggam mimpi itu kuat-kuat karena aku punya mimpi untuk menyaingi alitt susanto.
Makin kesini aku makin banyak belajar kalau menulis bukanlagi tentang bayaran. Banyak teman yang selalu nanya "udah berapa dapat uang dari blog?".
Dengan malu aku menjawabnya "belum ada." dan disertai dengan alasan klise kalau aku menulis bukan semata-mata untuk mendapatkan uang. Iseng doang.
Dengan malu aku menjawabnya "belum ada." dan disertai dengan alasan klise kalau aku menulis bukan semata-mata untuk mendapatkan uang. Iseng doang.
Jauh di lubuk hati kalau aku menulis emang karena pengen dapet uang + pengen jadi penulis buku + aku berharap di kala tua nanti ketika tak ada lagi cerita yang bisa kubagikan, aku berharap kalau blog ini dapat membantuku--membantuku menyegarkan ingatanku tentang cerita-cerita bodohku dulu.
Aku suka heran sama orang yang selalu nanya "udah dapat berapa dari blog". Ayolah, menjalani sebuah hobi bukan hanya melulu tentang mendapatkan uang. Mungkin saat ini belum dapat, soalnya fokus untuk meraih tangkapan yang lebih besar ketimbang mengumpulkan receh-receh yang mebuatku silau saja.
Begitulah impian yang selalu kuyakini karena aku yakin semua ini akan terjadi suatu hari.
Menjadi terkenal melalui tulisan itu lebih sulit ketimbang menjadi seorang youtuber. Tapi ada satu kalimat yang sampai saat ini menjadi pemicu dan menjadi bahan bakar yang selalu membakarku dikala aku tak yakin bisa berhasil melalui bidang menulis. Itu kalimatnya Raditya Dika. Raditya Dika bilang, kalau semua hal yang diperolehnya saat ini bermula dari menulis.
"Semua hal yang lo lihat dan yang gua dapatkan saat ini, itu semuanya bermula dari menulis. Menulislah, terserah tentang apa dan berkaryalah!".
"Semua hal yang lo lihat dan yang gua dapatkan saat ini, itu semuanya bermula dari menulis. Menulislah, terserah tentang apa dan berkaryalah!".
Tapi semua keajaiban mimpi-mimpi ini memiliki satu cara yang dapat membunuh semua itu. Yaitu: rasa bosan.
Iya, bosan.
Rasa bosan, menjadi satu-satunya yang dapat mengubur semua impianku.
Terkubur oleh mimpi itu lebih memalukan ketimbang gagal dalam menggapainya. Karena, terkubur oleh mimpi itu sama halnya dengan lo ditelan bulat-bulat dengan semua omongan besar lo ditambah dengan ditampar kenyataan kalau lo itu lemah, hanya berani bermimpi namun tidak ada gerakan untuk menggapainya.
Aku berharap semoga rasa bosan ini hanya sementara. Mungkin rasa bosan ini hadir karena penat menjalani rutinitas kuliah, atau karena terlalu sibuk menggunakan otak kiri sampai lupa harus menggunakan bagian kanannya.
Dengan tulisan ini aku juga berusaha untuk kedepannya bisa menulis cerita tentang komedi lagi dan membuat porsinya menjadi seimbang 50:50 dengan tulisan yang serius.
Mungkin itu aja, sampai jumpa!
Dihantui Rasa Bosan
Reviewed by Rizali Rusydan
on
August 28, 2017
Rating:
pernah juga gan aku ngalami yang kaya gitu, mirip mirip dikit dah...hehe
ReplyDelete