Atas dasar cinta kasih kepada seluruh manusia di bumi, katak dan
kodok tak henti-henti menyerukan suaranya kepada Tuhan, meminta, berharap
diturunkannya hujan. “kang kong kang kong” seru mereka berisik setiap malam.
Di negara yang mengalami 2 macam iklim setiap tahunnya, musim
penghujan bukanlah sesuatu yang istimewa. Mungkin para katak dan kodok sialan
tersebut tak mengenal sebuah daerah yang disebut “Afrika”, mungkin tak sekalipun
kata tersebut terbesit di benak mereka. Ini tak adil, sialan! Disanalah daerah yang
paling membutuhkan hujan. Rasanya ingin kutendang mereka semua—katak dan kodok
yang ada di sawah ke Afrika. Kalian lebih pantas bernyanyi disana, bukan disini,
dan kuharap kalian mengerti.
Namun Amin tak demikian. Dia senang melihat hujan yang akhirnya turun
bak jutaan anak panah yang menghujam tanah. Dia telah menunggu akan datangnya
saat ini. Beberapa minggu setelah memanen padinya, tibalah musim paceklik. Panas terasa begitu menyengat, membuat kering seluruh tanah di ladang.
Siang hari terasa gerah seperti di Gurun Sahara. Lalu beberapa minggu
kemudian, hujan akhirnya turun, air kembali membasahi sawah, menggenangi
jalanan aspal, emperan toko, dan mengisi seluruh lubang di jalan. Amin
menyambutnya dengan perasaan suka cita.
Namun Puja yang seorang mahasiswa tak berpendapat demikian. Menurutnya hujan adalah
bencana bagi kota dan jalanan yang tak siap untuk menampungnya. Mungkin hujan adalah berkah bagi sebagian orang, tapi bagi sebagian mahasiswa, hujan tak ubahnya hanyalah bencana yang menguras tenaga. Becek dan lumpur yang tergenang di
sepanjang jalanan aspal jalur dua, kalau kau ukur, paslah kiranya bagi seekor
buaya dewasa untuk hidup di dalamnya.
Jalur dua yang biasa dilewati, kini terasa menjengkelkan, seperti
tak tahu diri, hanya menyusahkan pengguna kendaraan yang lewat. Padahal beberapa ratus meter di depan, dibangun sebuah jalan tol megah tempat dimana kendaraan dapat ngebut kesetanan. Sialan. Ketimpangan terjadi dimana-mana dan itu semakin
terlihat jelas ketika musim penghujan tiba.
Tol dibangun memang untuk mempermudah akses masyarakat. Tapi itu harus didukung oleh infrastruktur yang mumpuni. Jika tidak, yang terjadi adalah
seperti yang kami rasakan saat ini. Jalan utama yang menghubungkan jalan tol
dengan kampus maupun kosan, semuanya berlubang, tertanam ranjau darat dimana-dimana. Mungkin
sudah banyak yang jadi korban. Ban motor pecah, velg ban penyot, timbullah masalah baru. Tukang tambal ban pasti senang tentunya, namun anak kos hanya bisa
meringis karena mesti menambah budget pengeluaran.
"Tol adalah berkah bagi mereka yang melaluinya, namun duka bagi masyarakat dan jalan yang terkena imbas karena menghubungkannya." ucap Puja, seorang Mahasiswa sehat wal afiat yang enggak tau mati kapan.
"Tol adalah berkah bagi mereka yang melaluinya, namun duka bagi masyarakat dan jalan yang terkena imbas karena menghubungkannya." ucap Puja, seorang Mahasiswa sehat wal afiat yang enggak tau mati kapan.
Sudah ada upaya perbaikan yang dilakukan tapi percuma semuanya terlambat. Jalanan sudah bolong, hanya tinggal menunggu waktu, kapan giliran banmu pecah selanjutnya.
Sementara itu Amir, anaknya Amin si pemilik
sawah, girang tak karuan berlarian di tengah hujan deras. Sementara bapaknya
senyum-senyum memperhatikan hujan turun membasahi sawah, Amir berlarian main
lumpur di dalamnya. Sekiranya dia lupa, di balik pintu, sudah berdiri Aminah
yang menenteng sebatang sapu, siap menghajar anaknya tersebut yang main lumpur
padahal baru saja mandi dan ganti baju.
Musim Penghujan
Reviewed by Rizali Rusydan
on
April 23, 2019
Rating:
No comments: