Liburanku telah usai. Sebentar lagi masuk kuliah. Sepuluh hari menyepi di Jogja merupakan sebuah keputusan yang tepat. Aku kembali kepada hakikat hidup yang sebenar-benarnya. Hidup di dunia yang benar-benar nyata tanpa sedikitpun ada embel-embel dunia maya. Less publication is good publication. Mengetahui lebih sedikit tenyata lebih menenangkan daripada mengetahui banyak hal.
Aku pikir, sosial media adalah hiburan, tempat di mana aku bisa melihat banyak hal menarik yang dibagikan orang. Menghibur memang awalnya. Namun akhir-akhir ini aku merasa kalau sosial media sudah kehilangan sisi menghiburnya. Melihat apa yang dibagikan orang lain ternyata tida semenyenangkan sebelumnya. Aku paham bahwa apapun yang berlebihan memang tidak baik.
Maka dari itu, sebelum pergi ke Jogja aku coba untuk menenangkan diri dari kehidupan sosial media. Aku benar-benar ingin sendiri. Merasakan kesendirian tak peduli pada apa yang terjadi. Hanya dengan menyendiri kau bisa memahami dirimu sendiri. Bukan aku yang mengatakannya, jauh-jauh hari sebelumnya para filsuf juga mengatakan hal yang sama.
Satu minggu berdiam diri di dalam kamar membuatku benar-benar sadar siapa sebenarnya "AKU". Awalnya memang sulit untuk menerima kenyataan bahwa seperti inilah "Aku". Candu sosial media mengaburkan banyak hal fundamental yang harusnya aku sadari. Tiap kali hp bergetar, seluruh perhatianku seolah ditarik dan tertuju pada layar yang berkedip-kedip tanda masuk notifikasi. Selalu muncul keinginan untuk buru-buru mencari tahu apa itu. Setelah mengenal sosial media aku merasa kalau hidup seperti sebuah perlombaan. Siapa yang paling banyak berbagi, maka dialah yang eksis. Dan aku sadar kalau itu tidak seharusnya begitu.
Namun itu masih awal dari sebuah proses mengenal diri. Masih ada hal-hal mengerikan yang aku sadar setelahnya. Yang selanjutnya inilah yang paling sulit untuk dikendalikan. Pikirian liar dan perasaan negatif yang muncul saat sedang menyendiri.
Namun itu masih awal dari sebuah proses mengenal diri. Masih ada hal-hal mengerikan yang aku sadar setelahnya. Yang selanjutnya inilah yang paling sulit untuk dikendalikan. Pikirian liar dan perasaan negatif yang muncul saat sedang menyendiri.
Aku tau siapa aku selama aku sendiri. Namun egoku selalu muncul. Ingin menguasai dan menjadi bagian dari "diriku". Ego tersebut selalu mencari pembenaran pada setiap asumsi buruk yang kutujukan pada setiap orang. Hingga aku kelelahan sendiri dibuatnya.
Selama menyendiri, aku menjadi lebih emosional. Hal-hal sepele berubah menjadi besar. Prinsip-prinsip hidup yang kupegang dan kujalankan selama ini mulai berubah. Aku jadi lebih mudah membenci daripada memaafkan, ini yang paling aku sadari.
Hampir seminggu menyendiri membuatku sampai pada kesimpulan: "Oke, ini saatnya keluar dan memahami hal lainnya." Menyendiri itu bagus untuk mengenal diri, namun terlalu lama sendiri, membuat dunia yang berputar di sekelilingku terasa menyempit. Isinya hanya aku, ego dan pembenaran pada setiap hal buruk. Banyak hal yang akan terlewatkan jika aku terus menyendiri. Untuk itu aku putuskan keluar, pergi, pindah ke tempat lainnya.
Selama proses tersebut aku akhirnya juga paham bahwa aku belum stabil secara emosional.
Cerita bersambung...
Sebuah Upaya untuk Mengenali "Diri Sendiri"
Reviewed by Rizali Rusydan
on
January 20, 2020
Rating:

No comments: