Jatuh cinta memang gak pandang usia. Baik tua, muda, bocah, pasti pernah merasakannya. Hal yang dirasakan juga sama. Deg-deg an tiap kali sedang berdua, getir tiap kali gebetan lama balas pesan, pingsan saat tau kalau gebetan lo udah digebet duluan sama orang.
Tiap kali mau tidur, aku selalu kepikiran akan sesuatu. Biasanya hal-hal random kayak: Kenapa ya manusia harus berak dari lubang bool bukan dari mulut. Lubang mulutkan lebih besar. Enggak, yang ini bercanda. Hal-hal random seperti: Kok dulu aku bisa ya pacaran sama dia? Kok goblok sih bisa-bisanya waktu itu aku diputusin? Keknya nulis tentang ini keren nih.
Dan tiap kali hal itu terjadi, mulailah aku berpikir, bertanya-tanya, kok bisa, kok bisa, hingga akhirnya niat untuk tidur pun hilang begitu saja.
Dan itulah yang terjadi malam itu. Tiba-tiba nostalgia. Mulai dari hal yang memalukan, sampai yang mendebarkan, tiba-tiba aku ingat semuanya. Satu-persatu kenangan dari masa lalu mucul satu-persatu seperti kepingan-kepingan puzzel yang sedang berusaha disatukan. Dan ketika kepingan puzzel tersebut bersatu, aku pun mengingat kembali tentang cinta monyet pertamaku dulu. Itulah bagian yang paling menarik malam itu : aku kembali ingat dengan cinta monyet pertamaku dengan seorang perempuan yang bernama Tasya.
**
Kejadiannya bermula waktu Aku kelas 5 SD.
Di sekolahku dulu, tiap siswa dibagi dan dikelompokkan ke dalam kelas berdasarkan nilai dan peringkatnya. Kelas dibagi dua menjadi: Kelas A dan Kelas B. Dari mulai kelas satu sampai lulus, aku selalu masuk di Kelas A. Nah, saat kelas 5, terjadi perubahan. Beberapa temanku di kelas A dipindahkan ke kelas B, dan begitu sebaliknya.
Esoknya, murid-murid pindahan tersebut sudah mulai masuk ke kelas kami. Satu-persatu mereka mulai memperkenalkan diri. Itulah saat pertama kali aku melihat Tasya, gadis dengan rambut kuncir kuda yang panjang serta tai lalat di pipi. Sial, aku masih ingat detil penampilannya. Nama lengkapnya: Tasya Aulia. Sialan, aku juga masih ingat nama lengkapnya. Dialah satu-satunya murid pindahan yang menarik perhatianku saat itu.
Dewa cinta sepertinya sedang berada di pihakku hari itu. Selepas dia memperkenalkan diri, dia diminta duduk persis di depan mejaku oleh wali kelas. Pas, mantaplah, pikirku.
Sebagaimana anak SD semestinya, sewaktu jam istirahat, satu-persatu teman-teman kelasku mulai mengerubungi tempat duduk anak-anak baru tersebut. Berkenalan, mencoba untuk akrab. Sebagai cowok yang cool walaupun tampang mirip Tukul, aku menjadi salah satu murid yang tak mencoba akrab dengan mereka, khususnya Tasya. Biarkan saja mereka dulu. Entar tiba saatnya gantian Aku yang maju kenalan.
Hari itu tidak seperti biasanya. Biasanya ketika jam istirahat, kami para cowok langsung pergi ke lapangan buat main bola. Karena hari itu hari pertama sekolah, kami semua sepemikiran untuk di kelas saja. Saat sedang melamun, aku kaget tiba-tiba Tasya menoleh ke belakang, dan mengajakku berkenalan.
"Aku Tasya. Salam kenal."Katanya sambil menyodorkan tangan.
"Aku Rizal. Salam kenal juga."
Seperti yang ku bilang sebelumnya, dari awal aku sudah tertarik kepada Tasya. Berhubung tempat duduknya berada tepat di depanku, aku berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
**
Seperti yang ku bilang sebelumnya, dari awal aku sudah tertarik kepada Tasya. Berhubung tempat duduknya berada tepat di depanku, aku berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
**
Aku cukup mahir dalam pelajaran IPS. Menghafal nama-nama ibu kota negara, mengingat tanggal-tanggal dan persitiwa penting di Indonesia, bahkan tiap kali ujian, nilaiku tidak pernah di bawah 85. Sebaliknya, Raisa justru lemah di pelajaran tersebut. Nah, tiap kali disuruh untuk membuat kelompok, dia selalu mengajakku bergabung. Tentu, aku enggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Hanya selama belajar kelompok itulah kami berdua seakan tidak terpisahkan. Kami sering berduaan saat membahas pelajaran IPS. Baginya, mungkin ini hanya seperti belajar kelompok biasa. Namun bagiku, ini lebih dari itu.
Guru IPS kala itu terkenal galak. Namanya Ibu Puji. Seminggu sekali dia rutin menunjuk setiap siswa untuk maju adu-aduan hafal nama-nama ibu kota ataupun yang lainnya. Yang kalah, akan diberi hukuman yaitu: berdiri sambil hormat ke tiang bendera upacara saat terik panas. Dan hal itu juga berlaku bagi setiap siswa yang mendapatkan nilai ujian di bawah 50.
Aku cukup percaya diri dengan pengetahuanku tentang pelajaran IPS. Aku tidak pernah sekalipun kalah apalagi mendapatkan nilai buruk. Tiap kali kelompok kami, Aku dan Tasya, tak pernah satu kali pun kami kalah tiap kali kami maju. Dan begitupun saat Tasya diminta maju sendirian. Tiap kali dia mulai nge-blank atau lupa, orang pertama yang ia lirik pastilah aku. Dengan teknik rahasia dan bahasa isyarat yang hanya kami berdua yang mengerti, aku memberitahu jawabannya. Meskipun itu yang disebut dengan kecurangan, apa peduliku. Semuanya sah asal itu karena cinta (sebenarnya aku jijik nulis hal ini).
Karena hal tersebut kami berdua jadi semakin tak terpisahkan. Bertukar bekal makan siang, bercanda, dan kadang uga pulang bareng. Bagi anak SD, ajakan pulang bareng adalah momen paling romantis se dunia. Walau kenyataannya kami kerap kali dipisahkan oleh angkot yang berbeda. Hanya ada dua angkot menuju rumahku yaitu: "125 dan 48". Sedangkan Tasya, semua angkot melewati rumahnya karena rumahnya tepat berada di pinggir jalan utama. Itulah pertama kalinya aku iri hati, dengki, dengan supir angkot.
Saat itu sebenarnya aku sudah tahu apa itu pacaran dan aku juga tau kalau sebelum pacaran kau haru menembaknya dulu. Sudah sejak dulu aku ingin menyatakan perasaanku. Se-pulang sekolah, ketika kami sedang jalan berdua, lalu kunyatakan perasaanku. Sesederhana itu. Namun nyaliku tak sebesar itu. Dan akhirnya perasaan itu pun terpaksa diam membisu, tak terungkap, bungkam begitu saja, sampai kami naik ke kelas 6.
Saat di kelas 6 juga aku tau kalau bukan hanya aku yang menyukai Tasya. Teman dekatku, Hasbur, ternyata juga merasakan hal yang sama. Bukan hanya Hasbur, Rifqi, Obi, dan juga Husni. Terus terang itu menimbulkan rasa sesak di dada.
Hanya selama belajar kelompok itulah kami berdua seakan tidak terpisahkan. Kami sering berduaan saat membahas pelajaran IPS. Baginya, mungkin ini hanya seperti belajar kelompok biasa. Namun bagiku, ini lebih dari itu.
Guru IPS kala itu terkenal galak. Namanya Ibu Puji. Seminggu sekali dia rutin menunjuk setiap siswa untuk maju adu-aduan hafal nama-nama ibu kota ataupun yang lainnya. Yang kalah, akan diberi hukuman yaitu: berdiri sambil hormat ke tiang bendera upacara saat terik panas. Dan hal itu juga berlaku bagi setiap siswa yang mendapatkan nilai ujian di bawah 50.
Aku cukup percaya diri dengan pengetahuanku tentang pelajaran IPS. Aku tidak pernah sekalipun kalah apalagi mendapatkan nilai buruk. Tiap kali kelompok kami, Aku dan Tasya, tak pernah satu kali pun kami kalah tiap kali kami maju. Dan begitupun saat Tasya diminta maju sendirian. Tiap kali dia mulai nge-blank atau lupa, orang pertama yang ia lirik pastilah aku. Dengan teknik rahasia dan bahasa isyarat yang hanya kami berdua yang mengerti, aku memberitahu jawabannya. Meskipun itu yang disebut dengan kecurangan, apa peduliku. Semuanya sah asal itu karena cinta (sebenarnya aku jijik nulis hal ini).
Karena hal tersebut kami berdua jadi semakin tak terpisahkan. Bertukar bekal makan siang, bercanda, dan kadang uga pulang bareng. Bagi anak SD, ajakan pulang bareng adalah momen paling romantis se dunia. Walau kenyataannya kami kerap kali dipisahkan oleh angkot yang berbeda. Hanya ada dua angkot menuju rumahku yaitu: "125 dan 48". Sedangkan Tasya, semua angkot melewati rumahnya karena rumahnya tepat berada di pinggir jalan utama. Itulah pertama kalinya aku iri hati, dengki, dengan supir angkot.
Saat itu sebenarnya aku sudah tahu apa itu pacaran dan aku juga tau kalau sebelum pacaran kau haru menembaknya dulu. Sudah sejak dulu aku ingin menyatakan perasaanku. Se-pulang sekolah, ketika kami sedang jalan berdua, lalu kunyatakan perasaanku. Sesederhana itu. Namun nyaliku tak sebesar itu. Dan akhirnya perasaan itu pun terpaksa diam membisu, tak terungkap, bungkam begitu saja, sampai kami naik ke kelas 6.
Saat di kelas 6 juga aku tau kalau bukan hanya aku yang menyukai Tasya. Teman dekatku, Hasbur, ternyata juga merasakan hal yang sama. Bukan hanya Hasbur, Rifqi, Obi, dan juga Husni. Terus terang itu menimbulkan rasa sesak di dada.
Sungguh sial, di antara kami semua ternyata Hasburlah yang paling agresif. Pernah ada suatu moment ketika salah satu temanku Triska sedang mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya, saat itu juga tiba-tiba saja Hasbur menembak Tasya. Tasya pun langsung menolaknya saat itu juga dengan alasan dia sedang suka dengan seseorang. Bukan Rifqi, maupun Husni, tapi seseorang yang lain.
Aku yang saat itu juga hadir di pesta tersebut cuma bisa bernafas lega. Syukurlah. Kalau saja tadi Tasya menerima Hasbur, mungkin ini akan menjadi pesta ulang tahun terkahir yang akan ku datangi.
Gak bisa dibiarkan, pikirku. Aku harus jadi lebih berani. Saat itulah aku putuskan kalau aku bakal menembak Tasya saat perpisahan kelas. Mulai saat itu juga aku terus menunggu. Menunggu dan terus menunggu hingga datangnya kesempatan itu.
Di penghujung kelas 6, kengerian akan berpisah mulai terasa. Aku mulai membayangkan gimana seandainya saat hari perpisahan aku masih juga urung menyampaikan perasaanku padanya. Aku hanya bocah berumur 12 tahun saat itu. Urusan serumit permasalahan hati tentu saja membingungkan.
Hari perpisahan pun tiba. Aku girang tak karuan. Ku pakai setelan baju terbaik, sarapan pagi dengan lahap, pakai parfum hasil nyolong punya abang, dan saat ingin pamit ke orang tua, saat itulah hal buruk terjadi.
Gak bisa dibiarkan, pikirku. Aku harus jadi lebih berani. Saat itulah aku putuskan kalau aku bakal menembak Tasya saat perpisahan kelas. Mulai saat itu juga aku terus menunggu. Menunggu dan terus menunggu hingga datangnya kesempatan itu.
Di penghujung kelas 6, kengerian akan berpisah mulai terasa. Aku mulai membayangkan gimana seandainya saat hari perpisahan aku masih juga urung menyampaikan perasaanku padanya. Aku hanya bocah berumur 12 tahun saat itu. Urusan serumit permasalahan hati tentu saja membingungkan.
Hari perpisahan pun tiba. Aku girang tak karuan. Ku pakai setelan baju terbaik, sarapan pagi dengan lahap, pakai parfum hasil nyolong punya abang, dan saat ingin pamit ke orang tua, saat itulah hal buruk terjadi.
"Mau kemana Zal?" Ucap ibuku.
"Pergi perpisahan sekolah lah. Kami mau ke Mickey Holiday."
"Enggak, Zal. Hari ini Mas Teguh nikah. Kita harus pergi ke sana."
"Tapi, Bu.."
"Enggak, Zal. Enggak. Itu sepupumu yang nikah. Nikah cuman sekali tapi perpisahan bisa berkali-kali. Pokoknya kau harus ikut kami hari ini. Titik!"
Hatiku hancur begitu saja. Semua yang ku lakukan sampai hari ini semuanya akan jadi sia-sia. Siasatku, usahaku, tukar-tukaran bekal, pulang bareng, membayangkannya saja sudah membuatku ingin nangis. Rizali, bocah kelas 6 SD yang akhirnya merasakan patah hati.
Ucapan Ibu saat itu buatku mati. Rasanya aku seperti hilang dan lenyap begitu saja. Tiba-tiba Rizali tidak bisa ikut acara perpisahan yang terakhir, tiba-tiba saja Rizali tidak akan bertemu lagi--bertemu dengan teman-temannya maupun sang pujaan hati.
**
Sejak hari itu, kami tidak pernah bertemu. Meskipun sesekali terkadang aku masih bertemu dengan teman-teman lamaku, itu pun karena tidak disengaja.
Sejak hari itu juga tiap kali aku melintasi rumahnya Tasya, entah mengapa aku masih ingat tentangnya. Ingat senyum dari seorang gadis dari 11 tahun yang lalu. Bahkan sampai hari ini aku masih terus mengingat rumah dan dia yang tinggal di dalamnya. Meskipun sekarang rasanya berbeda sebab mereka sekeluarga sudah pindah entah di mana. Hanya menyisakan rumah dan kenangan lamaku saja. Tasya, di manapun kau berada, semoga hidupmu baik-baik saja.
Hingga hari ini cowok yang disukai Tasya sewaktu SD masih menjadi misteri.
Cinta Monyet
Reviewed by Rizali Rusydan
on
April 24, 2020
Rating:

No comments: