Kita sepakat bahwa yang namanya ditinggal itu pasti enggak enak. Ditinggal pergi, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, apalagi ditinggal nikah.
Aku percaya di setiap pernikahan pasti memiliki kisah tragis di dalamnya. Entah itu tentang cowok yang ditinggal nikah pacarnya, cewek yang dipaksa menikah dengan yang bukan pilihannya, atau sumbangan tamu undangan yang enggak sesuai harapan. Dari ketiga hal tersebut, salah satunya sedang dialami oleh temanku: Jono.
Beberapa hari yang lalu, Jono memberitahu kalau gebetannya Mira akan segera menikah. Hal itu diketahuinya melalui postingan instagramnya Mira. Di sini dia bingung bagaimana harus merespon berita tersebut. Apakah ia harus bahagia atau malah sebaliknya menderita. Bisa juga menjadi keduanya: berpura-pura bahagia meskipun aslinya menderita. Aku tebak pasti Jono memilih pilihan ketiga: berpura-pura bahagia.
Wajar saja jika seandainya Jono menderita. Maklum. Ia sudah mengangumi Mira sejak SMA. Pasti getir rasanya melihat orang yang kita kagumi menikah dengan orang lain. Tapi apa boleh buat. Jodoh memang enggak ada yang tau. Impian Jono menjadikan Mira seorang kekasih pun harus kandas bersama postingan foto Mira bersama calon suaminya.
Meskipun di luar Jono terlihat bahagia, tapi aku yakin pasti di dalam hatinya Jono sedang menderita. Coba lo bayangin gimana rasanya memendam perasaan begitu lama, mulai dari SMA bahkan hingga kuliah, taunya cewek yang kita idam-idamkan menikah.
Ditinggal nikah pastilah menyedihkan. Apalagi kalau yang meninggalkanmu itu adalah orang yang paling kau kagumi. Ya, hidup memang terkadang bajingan. Apa yang kita ingin, belum tentu akan kita miliki. Dan aku yakin kita semua tau itu. I feel you Jono but i'm sorry. As your friend, nothing i could do. We know it will happen. Everyone will get married. Me, you, and the others. Hope you find someone you can love the most in the future.
Berbicara soal nikah, ternyata aku juga memiliki pengalaman serupa. Tapi aku ragu apakah ini bisa disebut ditinggal nikah atau enggak. Soalnya ini terjadi setelah kami putus. Kejadian ini melibatkan aku dan mantanku, Raisa.
Jadi dulu aku punya pacar namanya Raisa. Kami pacaran selama kurang lebih hampir dua tahun. Selama pacaran, biasanya yang paling diingat itu hanya dua: awal jadian atau akhir hubungan. Selayaknya sebuah hubungan, hubungan kami hanya memiliki dua akhir cerita: menikah atau pisah. Sayangnya yang terjadi pada kami adalah yang kedua: pisah. Banyak hal yang menyebabkan kenapa akhirnya kami memutuskan untuk berpisah. Dan aku harap melalui kisah ini kalian bisa mengerti apa yang saat itu kami alami berdua.
Selama kuliah, Raisa memiliki empat orang sahabat. Dan entah karena kebetulan atau memang sudah takdirnya, tiga dari kelima orang tersebut akan menikah tak lama setelah wisuda. Di kampus tempat Raisa kuliah, sudah seperti sebuah keharusan kalau setelah wisuda harus segera menikah. Banyak juga yang bekerja, tapi faktanya, itulah yang biasanya terjadi di kalangan mahasiswi.
Raisa usianya setahun lebih tua dariku. Jadi enggak heran kalau selama pacaran dia kerap bertanya soal pernikahan. Selain karena faktor usia, dia juga anak pertama. Ditambah lagi salah seorang sahabatnya yang menikah sebelum wisuda. Ibarat kobaran api disiram minyak, keinginan menikah pun jadi semakin menggebu-gebu.
Selama pacaran, dia juga sering menanyakan soal kejelasan hubungan kami berdua. Maklum. Karena sedari awal masa kenalan hingga akhirnya pacaran, kami sempat ldr-an. Jarak waktu ldr-an nya pun cukup lama. Kurang lebih setahun. Jadi wajar aja kalau dia bolak-balik nanya tentang keseriusan hubungan kami.
"Kamu serius kan Zal sama aku?"
"Iya. Serius." Jawabku.
"Kita bakal nikah kan nanti?".
"Iya nanti ya." jawabku.
"Nanti kapan?" tanyanya lagi.
"Nantilah itu. Aku masih mau fokus nyelesain kuliah sama cari kerja dulu."
Awalnya pertanyaan "Kapan Nikah" tersebut hanya ditanyakan sesekali. Tapi makin ke sini, semakin lama kami pacaran, pertanyaan tersebut semakin rutin ditanyakan. Dia mulai menanyakan hal yang sama. Lagi dan lagi berkali-kali. Sampai membuatku risih.
Aku yang saat itu lagi stress mikirin kuliah. ditambah lagi mesti menjawab pertanyaanya soal "kapan kita nikah", benar-benar membuatku jengah. Aku muak dengan kelakuannya yang selalu bertanya soal pernikahan seperti beo yang baru bisa bicara. Aku kira cukup. Sepertinya ini sudah waktunya untuk membungkam semua pertanyaan tersebut.
"Yaudah kalau memang kamu mau buru-buru nikah, nikahlah. Gausah tunggu-tunggu aku. Kalau nanti ada yang ngelamar kamu, terima aja. Gausah pikirin aku. Aku udah muak bahas-bahas soal nikah kek gini."
"Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Aku pusing ditanyain kek gitu terus. Seolah-olah hidup cuman soal nikah. Kek enggak ada yang lainnya."
"Aku kan cuman nanya."
"Gapapa nanya tapi jangan berkali-kali juga."
"Kamu jahat."
Mulai saat itu hubungan kami mulai berantakan. Bagi kami, para lelaki, membahas soal pernikahan selama pacaran bukanlah hal tabu. Tapi ketika hal tersebut diucapkan secara terburu-buru dan terus-menerus, itu beneran ganggu. Kalian pasti kesal kan kalau ditanya hal yang sama berulang-ulang? Begitupun aku. Tak lama setelah itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami berdua.
Sebagai seorang laki-laki, aku adalah orang yang keras kepala. Aku enggak mau seseorang mendikte kehidupanku, bagaimana aku harus menjalaninya, dan apa yang mesti kulakukan. Raisa telah menganggu hal paling mendasar dalam diriku yaitu: kehidupan dan waktuku. Pertanyaan soal kapan aku menikahinya, umur berapa nanti kami menikah, itu benar-benar mengganggu timeline waktuku. Dan semenjak dia kerap menanyakan hal tersebut, Aku merasa kalau hidupku seperti sedang diburu waktu. Pokoknya harus lulus tepat waktu, cari kerja, dua tahun setelah itu nikah. Seperti itulah pesan yang kutangkap tiap kali dia bertanya soal nikah.
**
Setahun berlalu.
Semenjak putus, aku dan Raisa hilang kontak. Semua sosial mediaku diblokir olehnya. Terserah. Itu haknya. Aku yakin dia memiliki alasannya tersendiri untuk itu. Kukira setelah putus, kami bisa kembali berteman. Namun kenyataannya itu keliru. Kami berdua kembali seperti dulu, kembali menjadi dua orang asing yang tak saling sapa dan sibuk dengan rutinitasnya masing-masing.
Hingga sampailah di suatu siang, ketika aku sedang menghadiri acara syukuran seorang teman, aku dikagetkan oleh berita yang disampaikan Fauza. Fauza yang juga merupakan teman sekelasku dulu, sekaligus sahabatnya Rasa semasa kuliah, bilang kepadaku kalau hari Raisa sedang melaksanakan acara pertunangan. Dan bukan hanya itu, dua bulan setelahnya dia juga akan melangsungkan pernikahan.
Aku cuman membalasnya dengan tertawa.
Pernikahan Raisa tidak membuatku sedih. Tidak sama sekali. Untuk apa bersedih atas kejadian di masa lalu? Selain hanya buang-buang waktu, untuk apa juga. Masa lalu biarlah berlalu. Hingga tulisan ini selesai, aku masih bingung apakah cerita ini bisa dianggap sebagai cerita seorang cowok yang ditinggal nikah. Tapi entahlah. Kalian sendiri yang simpulkan.
Dan teruntuk cowok-cowok di luar sana yang ditinggal nikah pacaranya. Udah, ikhlasin aja. Mau seribu tahun pun kau bersedih, menangis sampai mata perih, tetap enggak akan mengubah kondisi. Dia tetap dengan pilihannya dan kau tetap dengan kesedihanmu. Mengikhlaskan itu sulit tapi hanya inilah yang bisa kau lakukan. Anggaplah ini sebagai latihan patah hati buatmu agar ke depannya kau bisa menjadi lebih tangguh.
Teruntuk Cowok-Cowok yang Ditinggal Nikah
Reviewed by Rizali Rusydan
on
January 24, 2021
Rating:
No comments: