Komentar terbaru

#BacotanRizal Februari 2021


Februari 2020. Bagi kalian yang masih ingat, Februari tahun lalu menjadi bulan terakhir di mana kita bisa merasakan kebebasan layaknya seorang manusia. Karena tak lama, beberapa minggu setelahnya, hal yang mengguncang dunia terjadi. Pandemi virus corona.

Namun, di bulan yang sama, setelah sekian lama akhirnya aku memantapkan diri untuk mengadopsi seekor kucing. Setelah berbulan-bulan ide mengadopsi ini hanya berakhir menjadi wacana, tepat satu bulan sebelum karantina diberlakukan, barulah kesampaian. Aku mengadopsi seekor kucing berwarna hitam yang kuberi nama Joy.


Tak terasa satu tahun berlalu. Sekarang sudah Februari 2021. Setahun sudah, namun sial pandemi ini masih belum selesai. Selama pandemi, banyak orang yang sudah kehilangan keluarga, orang yang mereka sayang, juga hewan peliharaan. Bersyukur hingga hari ini keluargaku masih lengkap, orang tua, kakak, adik, juga hewan peliharaan, semuanya sehat. Duka mendalam kepada kalian yang kehilangan dan ditinggalkan. Ditinggal seseorang yang kita sayang pastilah menyakitkan.

Sejujurnya hari ini tidak ada topik khusus yang ingin kubicarakan. Aku hanya ingin bercerita, menuang semua isi di kepala. Sebenarnya sudah cukup telat membicakan hal ini Tapi tak apa. Karena menurutku ini masih relevan. Aku ingin cerita tentang resolusiku tahun lalu. 

Resolusi hanya akan menjadi resolusi bila tidak dieksekusi. Banyak orang menuntut banyak hal kepada dirinya menjelang tahun baru, berdoa, membuat janji-janji dan resolusi, yang pada akhirnya semua itu berakhir sia-sia. Resolusi hanya menjadi resolusi. Janji tinggal janji. Semuanya berakhir jadi mimpi karena tidak dieksekusi. Kalian terlalu sibuk membuat resolusi hingga lupa yang namanya berusaha. Itulah mengapa di setiap tahunnya aku tak ingin memiliki resolusi yang terlalu tinggi. Resolusiku tahun lalu sederhana. Aku hanya ingin konsisten nulis. Udah itu.

Hal tersebut baru terealisasi beberapa bulan kemudian. Tepatnya di bulan April tahun 2020. Selain karena tuntutan resolusi, di bulan itu juga aku berjanji untuk lebih serius dalam menulis. Dalam sebulan, sedikitnya aku harus menulis 3-4 artikel. Apa aja. Puisi, cerita pendek, resensi buku, review film, apapun..

Awalnya memang terasa sulit. Mengingat, aku sendiri orang yang inkonsisten. Bagaimana mungkin aku menulis 3-4 artikel setiap bulan jika aku sendiri males-malesan? Keran kata tidak berputar dengan sendiri. Harus ada orang yang memutarnya. Kata-kata tidak tertuang begitu saja. Mesti ada orang yang menuangnya. Melalui tulisan, kata bisa tertuang. Kata demi kata digubah menjadi sebuah kalimat. Kalimat demi kalimat dirubah hingga akhirnya menjadi paragraf. Semua itu tidak akan terjadi jika tidak dimulai. Ya, Mulai. Satu kata, 5 huruf, namun sulit terlaksana. Percuma saja aku bermimpi memiliki tulisan yang bagus, berjanji untuk lebih serius, jika semuanya tidak kumulai, itu hanya akan menjadi sia-sia.

Ketika semua janji sudah terpenuhi, dan resolusiku tercapai, selanjutnya aku kembali menantang diri dengan mencoba menjadi penulis freelance. Aku ingin menguji kemampuan sekaligus pengen tau apakah tulisanku sudah memenuhi kualifikasi atau belum untuk dimuat di media lain. Aku pun memutuskan untuk menulis di Mojok.co.

Bagi kalian yang belum tau, Mojok.co merupakan sebuah platform yang memfasilitasi para penulis untuk mengirimkan tulisannya dan mendapatkan bayaran. Di sini kalian bisa mengirimkan apapun tulisan kalian dan jika nantinya tulisan itu diterima, kalian akan mendapatkan upah.

Sebenernya aku males menulis untuk platform lain. Selain karena persyaratannya banyak, aku juga enggak siap melihat tulisanku ditolak. Aku takut penolakan tersebut mencederai ego dan kepercayaanku. Aku memiliki kepercayaan yang cukup tinggi dengan kemampuan menulisku. Aku sangat percaya diri dengan itu. Aku sudah menulis sejak tahun 2013, jadi wajar kalau aku berpikir seperti itu. Kepercayaan diri itulah yang pada akhirnya membebaniku.

Aku sempat ragu. Bingung antara harus mempertahankan ego atau mulai memperbanyak jam terbang dengan menulis di platform lain. Kalau menuruti egoku, aku takut itu membuatku terjebak dan tak bisa berkembangAku ingin meningkatkan kemampuan menulisku dan cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan menulis itu sendiri. Namun jika aku memilih pilihan  lainnya, sudah pasti egoku yang jadi korban. Tentu saja aku tidak ingin mengorbankan ego tersebut. Ini membuatku benar-benar bingung.

Hingga saat ini, ego dan kepercayaan itulah yang membuatku masih bertahan dan betah menulis. Tidak ada yang lain. Berkat mereka pula aku bisa santai tiap kali ditanya orang tentang berapa jumlah uang yang sudah kuhasilkan dari menulis. Dengan entengnya aku menjawab: "Aku menulis bukan karena uang tapi karena diriku sendiri." Mereka sudah lama bersamaku. Berat rasanya kalau harus dikorbankan begitu saja.

Di satu sisi, aku mengidamkan-idamkan adanya perubahan. Aku bosan kalau menulis hanya begini-begini aja. Tak ada yang berubah Monoton, payah, dan membosankan. Namun di sisi lain, idealisme, ego, dan kepercayaan diri tersebut sudah menjadi identitasku. Jadi tak mungkin begitu saja kubuang. Membuang mereka semua, sudah jelas membuatku kecewa.

Perubahan bisa terjadi karena adanya perasaan tidak nyaman, kesedihan, kesengsaraan, rasa sakit, dan hal menyebalkan lainnya yang terjadi di dalam diri. Aku lupa kalau sesuatu yang membuatku kecewa sering kali memberiku lebih banyak pelajaran ketimbang yang membuatku nyaman dan senang. Bukankah kita tau apa artinya bahagia setelah pernah mengalami yang namanya kecewa? Maka, dengan berat hati kuputuskan, persetan dengan ego, idealisme, dan semuanya. Sekarang saatnya aku berkembang. Sudah saatnya aku keluar dari zona nyaman.

Petualanganku menjadi penulis freelance pun dimulai.

Satu hal yang pasti: menulis di platform lain jauh berbeda dengan menulis di platform pribadi. Di platform pribadi, kita bisa menulis apapun sesuka hati. Sedangkan di platform lain, kita mesti mengikuti kualifikasi dan syarat yang harus dipenuhi. Persyaratan inilah yang membuatku sedikit keberatan dan tak nyaman. Namun, lagi-lagi aku percaya, selalu ada ketidaknyamanan dan keberatan ketika kita memutuskan untuk berubah. Gimana, udah terdengar seperti Mario Tegang, belum?

Artikel pertama kukirim. Demi awal yang baik, aku mengirim artikel terbaik. Aku percaya. Jika mengirim artikel ini, pasti akan langsung diterima. Benar saja. Artikel tersebut diterima. Aku berhasil pada percobaan pertama. Itu membuat kepercayaan diriku meningkat. 

Masih dalam hegemoni rasa bangga, sejak saat itu aku jadi mulai rutin menulis. Setidaknya dalam sehari aku mengirim satu artikel. Semakin banyak artikel yang kutulis, maka semakin banyak pula uang yang kuterima. Selama seminggu, total aku sudah mengirim 8 artikel. Sialnya, saat itu pikiran nakalku mendahuluiku.

Di saat yang sama, aku mulai mikir yang aneh-aneh. Tadinya, tujuan awalku menulis di platform lain hanya untuk meningkatkan kemampuan. Tapi makin ke sini, fokusku malah berubah. Bukanya fokus memperbaiki tulisan, aku malah lebih fokus pada upahnya. Tanpa sadar mindsetku berubah. Menulis bukan lagi menjadi media untuk bersenang-senang, mengisi waktu luang,. Sekarang, aku menulis karena uang. Aku sudah melenceng dari tujuan utama. Ibarat kereta, aku sudah keluar jalur. Selayaknya kereta yang keluar dari jalurnya, yang menunggunya di depan hanyalah celaka. 

Aku menjadi terburu-buru. Aku menulis terburu-buru seolah-olah sedang diburu waktu. Pokoknya, setiap hari aku harus menulis satu artikel baru. Titik. Karena di dalam pikiranku, menulis bukan lagi menjadi media untuk bersenang-senang, tapi  untuk cari uang. Maka dari itu, persetan dengan kualitas yang penting sesuai target.

Kita tau segala sesuatu yang berurusan dengan uang itu selalu berakhir buruk. Kalau tidak menjadikan kita rakus, ya serakah. Seperti yang kalian kira. Yang terjadi selanjutnya adalah delapan sampai sepuluh artikel yang kukirim semuanya ditolak. Penolakan tersebut tidak membuatku menyerah. Tulisan-tulisan yang sebelumnya ditolak itu kukoreksi, kuperbaiki, lalu kukirim kembali. Sial. Hasilnya masih sama. Semuanya ditolak. Total kurang lebih belasan kali artikelku ditolak. Pengalamanku menulis selama tujuh tahun rasanya sia-sia. Itu membuatku cukup terpukul.

Sejak itu, aku berhenti mengirim tulisanku dan berhenti menulis selama beberapa minggu. 

Ekspektasi yang terlalu tinggi, rasa percaya diri yang belebih, itu semua membunuhku. Itu membuat hatiku hancur. Namun berkat penolakan itu pula untuk pertama kalinya dalam hidup, aku kepikiran plan b. Aku adalah orang yang keras kepala. Kalau aku bilang A, ya harus A. Gak boleh B. Itu prinsip hidupku. Aku selalu memegang kata-katanya Will Smith di film The Pursuit of Happiness,

"Hey. Don't ever let somebody tell you... You can't do something. Not even me. All right?"

"...You got a dream... You gotta protect it. People can't do somethin' themselves, they wanna tell you you can't do it. If you want somethin', go get it. Period."

Begitulah aku. Aku cukup keras kepala dalam hal ini. Kalaupun nantinya aku gagal, setidaknya aku bangga karena udah berani mencoba dan berusaha. 

Bahkan aku juga sempat kepikiran untuk melupakan mimpi menjadi seorang penulis dan beralih ke profesi yang kalau menurutku adalah profesi cari aman. Tapi berbeda kalau kata orang tua kita dulu. Kata orang tua kita dulu, belum kerja namanya kalau belum jadi pegawai kantoran atau PNS. Aku sempat kepikiran untuk menjadi pegawai kantoran dan PNS sangking merasa gagal.

Menulis di Mojok sejujurnya melukai idealismeku. Sebelum ini aku menulis hanya untuk diriku sendiri. Persetan dengan orang lain. Ini tulisanku, aku menulis sesuai yang kumau. Namun nyatanya, idealisme kerap tak sejalan dengan realita. Tulisanku begitu-begitu aja dan enggak menghasilkan. Aku bisa saja terus menulis hanya untuk diriku seorang. Tapi itu jauh berbeda dengan apa yang kuimpikan. Mimpiku adalah menjadi seorang penulis. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang penulis bila tidak peduli dengan pembaca? Siapa pula aku yang dengan egoisnya memaksa orang untuk menyukai tulisanku. Aku belum cukup bagus dan terkenal hingga bisa menulis semaunya. Aku bukan Andrea Hirata, yang apapun ditulisnya, orang akan berebut baca.

Di momen ini aku juga sadar kalau ego yang selama ini kupertahankan, keyakinanku yang berlebihan, hanyalah bualan. Semua itu tipuan. Faktanya, tulisanku jelek dan aku masih harus banyak belajar karenanya. Aku yang besar kepala karena berhasil pada percobaan pertama, begitu ngerasain rasanya artikel ditolak berkali-kali bahkan sampe belasan kali, sekarang ngerasa enggak ada apa-apanya. Tulisanku memang enggak bagus. Keberhasilanku di awal hanyalah bonus.

Karena penolakan itu juga aku jadi sadar kalau idealisme itu harusnya kompromi bukan mengekang. Idealisme itu gratis. Kalaupun terpaksa (sementara) harus dibuang, buanglah. Nanti bisa cari lagi. Jangan sampai idealismemu mengekangmu, tapi jangan pula kau tak memilikinya. Seperti yang Tan Malaka pernah bilang: "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda." Sia-sia kau menjadi anak muda jika kau tak pernah memilikinya.

Di akhir bulan Januari lalu, aku mulai kembali mencoba mengirim artikel kembali. Kali ini aku menulis bukan lagi karena uang, murni hanya untuk bersenang-bersenang dan latihan. Kalau diterima, ya syukur. Kalau ditolak, ya tinggal evaluasi. Sekarang ekspektasiku juga sudah tidak setinggi yang dulu. Nothing to lose aja. Diterima ya syukur, ditolak juga gapapa.

Dan itu berhasil. Tiga dari empat artikel yang kukirim diterima. Rasanya memang beda kalau menulis bukan karena iming-iming uang. Lebih bebas, santai, kayak enggak ada beban. Aku jadi lebih bisa santai dan menikmati proses menulisnya. Itu membuatku senang. 

**
Sekarang Februari tahun 2021. Beberapa minggu telah berlalu semenjak insiden penolakan itu. Di bulan ini, aku tidak hanya mencoba untuk konsisten dan juga serius, di bulan yang baru ini, aku juga berharap bisa menjadi diriku yang baru tanpa harus menghapus "aku" yang di masa lalu.
#BacotanRizal Februari 2021 #BacotanRizal Februari 2021 Reviewed by Rizali Rusydan on February 06, 2021 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.