Aku pikir setiap orang adalah badut:
untuk takdir, nasib, tragedi, maupun cerita yang telah mereka lalui.
Kita yang enggak sadar,
atau malah sebaliknya,
sadar namun menolak fakta.
Dengan menghindari kenyataan kalau sebenarnya kau adalah badut
malah membuatmu jadi semakin terlihat
lebih badut daripada badut pada umumnya.
Ibarat koruptor.
Yang sudah tertangkap basah
namun berkilah dan bilang kalau dia bukan koruptor
sambil menyebut-nyebut nama Tuhan.
"Apa bagusnya jadi badut?" Kau bilang.
Badut hanyalah mahluk periang,
sekaligus tolol, yang kerjanya menghibur.
Itu badut di pikiranmu.
Apalagi kita kalau bukan badut?
Bukankah kita memang selalu seperti itu?
Kita ahli soal memendam rasa kecewa,
menyembunyikan amarah,
mengaburkan kesedihan,
kemudian tertawa di depan banyak orang
seolah sedang tidak terjadi apa-apa.
Padahal hati dan duniamu saat itu sedang hancur,
hingga membuatmu begitu terpukul.
Namun lagi-lagi,
di depan orang terkasih,
kita berusaha tegar,
memendam, menyembunyikan,
mengaburkan semua perasaan itu dengan tawa.
Bukankah badut pun seperti itu?
Selalu memendam rasa kecewa,
menyembunyikan amarah,
mengaburkan kesedihan.
Di balik wig besar merah andalan,
riasan muka yang tebal,
sambil tertawa lebar,
menghibur anak-anak.
Berpura-pura tegar,
padahal perasaannya sedang tak karuan.
Benar kan, yang kubilang?
Kita ini badut!
Untuk takdir, nasib, tragedi,
maupun cerita yang telah kita lalui.
Kita adalah Badut
Reviewed by Rizali Rusydan
on
March 18, 2021
Rating:
No comments: