Komentar terbaru

Rutinitas Itu Membunuh


Hidup lalu menjadi manusia itu rumit. Semasa kecil, ketika ingin buru-buru jadi orang dewasa. Setelah menjadi dewasa sebaliknya, pengen kembali jadi anak-anak. Dunia orang dewasa membosankan, kau bilang. Terlalu banyak jebakan, dan banyak hal menyakitkan. Tak seindah sebagaimana dulu kau pikirkan. Begitulah hidup. Kita selalu ingin memiliki apa yang tidak kita miliki ketimbang menikmati apa yang sudah kita miliki.

Ketika sudah menjadi orang dewasa, satu hal yang pasti yang akan kau miliki: rutinitas. Bentuknya apa aja. Bekerja, belajar, nganggur, apapun itu. Bagi seorang pengangguran, bekerja adalah rutinitas yang paling mereka inginkan.  Bagi seorang pekerja sebaliknya, leyeh-leyeh, santai, lepas dari segala hubungan pekerjaan, bahkan nganggur selama seminggu penuh adalah mimpi yang enggak akan tau kapan akan terealisasi. Kita jadi serba salah. Punya rutinitas tapi ujung-ujungnya bosan, mau hidup bebas tanpa rutinitas takutnya malah bablas.

Rutinitas dan bosan itu ibarat sandal. Jika kau mengenakan yang satu, bersiaplah untuk mengenakan yang satunya. Ketika hidupmu dipenuhi rutinitas, dipenuhi berbagai jadwal yang mesti kau kerjakan, target yang mesti dicapai, perasaan bosan kan kau rasa. Lalu muncullah alternatif lain untuk meredam kebosanan sebelumnya. Liburan. Tapi pada akhirnya semua itu sama aja. Liburan juga akan terasa membosankan apalagi kalau keseringan. Pada akhirnya semua hal akan berakhir sama: membosankan.

Benar kalau ada yang bilang hidup ini bukan seperti lomba sprint. Bukan. Hidup tak lain dan tak bukan adalah marathon yang panjang. Bukan tentang siapa cepat, tapi tentang siapa yang paling tahan menahan rasa sakit, bosan, dan paling gigih berjuang, dialah yang menang. Hanya di marathon kecepatan bukan hal utama melainkan ketahanan dan kegigihan. Begitu pun kehidupan. Bukan soal siapa punya lebih banyak harta, pendidikan paling tinggi, paling cepat menikah, tapi siapa yang tetap menjadi manusia meskipun sudah memiliki itu semua.

Nietzsche pernah bilang, "What doesn't kill you make you stronger." Aku setuju. Segala hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat. Dighibahin orang misalnya.

Di umur 20 sudah berapa banyak tetangga yang mulai bercerita dan membandingkan dirimu dengan anak mereka? Seolah-olah anaknya lah yang paling berprestasi, paling kaya, sedang kau kebalikannya. Paling bodoh dan melarat. Padahal kau dan anaknya berteman baik. Namun ibarat pesabung, orang tua kita justru melaga kita hingga menimbulkan perasaan enggak enak tiap kali jumpa. Yang pada akhirnya itu malah membuat salah satu dari kita kesal.

Ghibah bermula dari ucapan. Ucapan terjadi karena peran mulut dan lidah. Sedang lidah tak bertulang, tapi mengapa bisa begitu tajam hingga bisa menyayat perasaan orang yang mendengarnya? Tetap. Gak ada orang yang mati karena dighibahin tetangganya. Mungkin kesal awalnya, tapi kalau sudah kebal, bahkan bodo amat, percayalah, kau kan jadi orang yang lebih kuat. Setidaknya secara mental.

Sama halnya dengan rutinitas. Seiring berjalannya waktu, semua kreativitas akan sirna dihadapan rutinitas. Semua ide maupun rencana yang kau punya akan berakhir bila sudah berhadapan dengan rutinitas. Hobi menulis tengah malam akan berakhir ketika kau ingat kalau besok kau harus bangun pagi dan kerja. Padahal saat menulis tengah malam itulah kau merasa begitu kreatif dan sangat hidup sebagai manusia. Demi rutinitas, kau harus bisa merelakannya. Rutinitas membunuh kreativitas.

Meskipun rutinitas itu seperti membunuh kreativitas, percayalah padaku, jika rutinitas yang kau kerjakan itu menyangkut hobimu, maka rutinitas lain bisa menunggu. Meskipun keadaan tidak mendukungmu, asal itu demi hobimu, pasti tetap akan kau kerjakan.

Rutinitas dan bosan itu ibarat sandal. Jika kau mengenakan yang satu, bersiaplah untuk mengenakan yang satunya. Gak ada salahnya mencoba hidup tanpa rutinitas. Bebas tanpa jadwal yang mengatur. Yang biasanya bangun pagi, tiba-tiba bangun sore. Yang biasanya sarapan pukul sembilan pagi, sekarang jadi pukul tiga sore. Yang biasanya hari senin pergi kerja, ini pergi liburan. Kalau sesekali, pasti seru. Kalau keseringan, pada akhirnya akan bosan juga. Pengen kembali ke kehidupan sebelumnya. Punya jadwal harian biar bisa hidup teratur. Lagi-lagi pada akhirnya semua akan sama: membosankan.

Menurutku, salah satu cara agar enggak bosan menjalani rutinitas adalah dengan menganggapnya sebagai sebuah proses bermain. Tak ada orang yang bosan bermain. Siapapun ingin bermain. Bahkan orang dewasa sekalipun. Kita menua bukan karena kita tua. Kita menua karena kita berhenti untuk bermain. Meskipun rutinitas itu membosankan, meskipun hidup adalah marathon yang panjang, kalau bagimu itu adalah sebuah permainan, perasaan bosan, perasaan ingin berhenti mungkin akan jarang sekali terbesit di benakmu. Hanya ketika matilah mungkin kau akan benar-benar berhenti.

Belakangan semua ini terjadi padaku. Keseharian dan kegiatanku sekarang menuntutku untuk selalu berada di luar rumah sementara tempat ternyamanku adalah di dalam kamar. Keadaan memaksaku untuk keluar rumah dan bertemu banyak orang sementara hobiku adalah duduk di depan komputer sendirian sambil menulis. Energiku kebuang banyak untuk aktivitas-aktivitas yang kurang aku suka. Aku sempat merasa bosan, jengkel, bahkan jengah dengan rutinitasku sekarang. Aku mengubah mindsetku bahwa yang kulakukan saat ini adalah sebuah proses bermain juga belajar. Mungkin aku lelah, mungkin juga bosan, tapi bukan berarti harus berhenti. Hasilnya, aku pun menemukan rutinitas baru selain berdiam diri di kamar dan menulis. Selain itu, aku juga jadi lebih menghargai hobi menulisku ketimbang dulu sebelum aku memiliki rutinitas tersebut.

Meskipun hidup adalah proses menjalani rutinitas yang panjang, proses pindah dari kebosanan satu ke kebosanan lainnya, proses pindah dari rasa sakit yang satu ke rasa sakit lainnya, ketika kau merasa bosan, lelah, ataupun tersakiti, istirahatlah. Jangan berhenti.
Rutinitas Itu Membunuh Rutinitas Itu Membunuh Reviewed by Rizali Rusydan on March 29, 2021 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.