Komentar terbaru

Kosan Jahannam: Eno, Si Iron Man Desa Way Huwi


Selama kuliah, lo pasti punya teman yang multitalenta. Nyuci baju, bisa. Masak, bisa. Benerin alat-alat elektronik dan instrumen kelistrikan apalagi, jagonya. Kalau dalam keluarga, dialah sosok Bapak yang sebenarnya. Bisa diandalkan juga tangguh. Sedangkan kami: Aku, Wildan, Rizqi, Jepri, Tobi, Tompul, tak ubahnya bayi. Rapuh, manja, tak berguna.

Retno atau yang biasa disapa Eno merupakan mahasiswa asal Sumatera Utara, lulusan SMK, yang kini sedang mengambil jurusan Teknik Elektro di jenjang sarjana. Anak-anak lulusan SMK sepertinya memang nggak bisa jauh dari hal-hal berbau listrik, mesin, oli bocor, tromol pecah, kabel terbakar. Makanya ketika kuliah pun mereka memilih jurusan yang sesuai dengan jurusannya dulu di SMK. Tidak sepertiku, anak madrasah sotoy yang karena kegemarannya main game, memilih untuk mengambil jurusan Teknik Informatika. Aku pikir, Teknik Informatika kuliahnya gampang. Cuman main komputer, buat game, dan mainkan. Memang sih, ada tugas untuk membuat game. Tapi setelah aku ngerasain gimana rumitnya membuat sebuah game, aku menyesal memilih Teknik Informatika. Dan penyesalan tersebut sudah terlambat. Selamat datang di neraka yang disebut Teknik Informatika.

Eno memiliki alasan yang kuat serta latar belakang keilmuan yang jelas untuk memilih Teknik Elektro sebagai jurusan. Keahliannya di bidang kelistrikan tidak usah lagi diragukan. Kipas angin rusak? Serahkan ke dia. Rice Cookermu kurang panas? Percayakan saja pada Eno. Esok pagi, rice cookermu sudah akan normal kembali. Nilai Fisika dapat E? Untuk yang satu ini, jangan serahkan ke Eno. Dia sama bodohnya denganku untuk urusan Fisika. 

Tidak sepeti Wildan dan Rizqi yang diberkahi kepintaran yang luar biasa, Aku dan Eno sepertinya memang ditakdirkan untuk bodoh di setiap pelajaran eksata. Biyan, Jepri, aman. Nilai mereka di atas rata-rata. Hanya Aku dan Eno yang berakhir tragis. Aku takut. Jangan-jangan kalau dibedah, otak kami hanya sebesar tutup botol sangking tololnya. Emang udah hukum alam kalau orang bodoh akan dipertemukan dengan orang bodoh lainnya.

Tapi kami tidak sendirian. Banyak mahasiswa tolol lainnya yang bernasib sama tragisnya dengan kami berdua. Dari 300 mahasiswa yang mengikuti ujian, hanya puluhan yang lulus mata kuliah eksata: Fisika, Matematika, Kimia. Sedang sisanya berakhir menyedihkan.

Einstein pernah bilang, "Jangan menilai ikan dari caranya memanjat pohon atau selamanya dia akan merasa bodoh."

Untuk ujian umum, bolehlah Eno kalah. Namun begitu tiba waktunya ujian praktek, jangan kira dia akan kembali kalah. Eno jagonya! Di saat itulah keahliannya berguna. Buat Tesla Coil? Gampang! Kincir angin mini? Apalagi! Bagi Eno, satu-satunya yang mustahil dibuat hanyalah mesin waktu. Ya, semua orang pun tau kalau soal itu. Jangankan dia, Einstein sekalipun rasanya masih cukup mustahil untuk bisa membuatnya. 

Meskipun bobot penilaian ujian praktek tidak sebesar ujian umum, ujian praktek menjadi ajang untuk pamer kemampuan. Entah itu ke dosen, teman, ataupun gebetan. Hanya di saat ujian prakteklah wajahmu yang buruk rupa bisa membuat cewek terpesona. Hari itu tampang bukan lagi hal utama. Melainkan karya dan benda yang kau ciptakan. Tapi seandainya kalau saat itu ada cowok tampan yang juga pintar, tetap saja cewek-cewek akan memilih yang tampan ketimbang kau yang buruk rupa.

Di antara begitu banyak kelompok yang maju dan mendemonstrasikan alatnya, Enolah yang menjadi orang yang paling bersinar kala itu. Di tengah-tengah aula, sambil mempresentasikan alat ciptaannya, Tesla Coil ciptaannya pun dinyalakan. Jika yang lain membuat Tesla Coil dengan menggunakan baterai dan kawat tembaga, Eno merakit alatnya agar langsung bisa disambungkan ke colokan listrik. Hasilnya, siang itu lampu yang dihidupkan menggunakan Tesla Coilnya bersinar sangat terang. Bahkan cahayanya mampu menerangi wajah kusam orang-orang yang kurang iman. 

Baca Juga: 

Sehabis ujian praktek, Eno jadi topik pembicaraan. Setelah membereskan alat-alat peraganya, beberapa orang mahasiswa nyamperin dia, basa-basi, nanya gimana cara buatnya, dan alat-alat apa saja yang dibutuhkan. Bahkan ada yang menanyakan dari mana dia mendapat ide itu semua. Eno pun mulai bercerita dan menjelaskan latar belakang pendidikannya. Setelah hari itu, satu-persatu dari mereka mulai mengirim alat-alat elektronik mereka yang rusak ke kosan dengan harapan bisa ia betulkan.

Desas-desus tentang si jenius ahli reparasi alat-alat elektronik pun tersebar. Dari yang awalnya hanya lingkungan kampus, mulai merambah masuk ke lingkungan kampung. Semuanya bermula dari Bukde Hutan, penjual nasi langganan kami, yang kala itu minta dibetulkan blendernya. Selain penjual nasi, Bukde Hutan juga merangkap jabatan sebagai ahli gosip. Ia merupakan sumber gosip utama desa waktu itu. Semua aib, rahasia desa, dia tau. Dengan kalimat pembuka andalannya, "Bukan apa-apa ya. Bukde denger-denger.." Jika kalimat itu sudah terlontar, bersiaplah untuk merasa berdosa di sepanjang obrolan. Selagi bergosip itulah dia mempromosikan keahlian Eno dalam memperbaiki alat-alat elektronik ke sirkel pergaulan gosipnya. 

Pekerjaan remeh temeh awalnya. Mulai dari benerin kipas, blender, sampai ke yang rumit seperti instalasi listrik. Yang awalnya pelanggannya hanyalah para mahasiswa, kini merambah ke warga desa. Semenjak saat itu, kami tidak lagi menganggapnya sebagaimana Eno biasanya. Kami menganggapnya sebagai Eno, Si Iron Man Desa Way Huwi. Serahkan semua alat elektronikmu padanya. Dijamin, esok alat tersebut akan normal kembali. Jika gagal, jaminan uang kembali.

Berkat keahliannya tersebut, Eno jadi mendapatkan uang tambahan. Selain uang, tak jarang pula ia dikasih bingkisan. Keahliannya menjadi berkah. Kami pun ikut kecipratan karenanya.

Ada satu peraturan tak tertulis di kos kami. Jika ingin makan gratis, ikutlah dengan Eno keliling desa. Hampir semua warga desa kini mengenalnya. Tiap gang, tiap sudut, orang yang melihatnya akan menyapanya tiap kali ia lewat. Bahkan ada beberapa yang memintanya untuk singgah. Sekedar ngopi-ngopi atau makan siang. Andai saja waktu itu urat malu kami sudah putus, bisa saja satu-persatu rumah yang menawarkan diri untuk disinggahi, kami datangi.

Sadar kalau pekerjaannya ini menghasilkan, Eno sering mengajak kami untuk ikut membantunya kerja. Kami sebagai mahasiswa yang enggak bisa apa-apa hanya bisa mengiyakan ajakannya. Hitung-hitung biar bisa makan gratis. Itu penting. Apalagi ketika akhir bulan. di mana kelezatan indomie mulai menjelma seperti spaghetti mahal Itali. Tanpa disuruh, kami dengan sendirinya mengajukan diri untuk menemani.

Selain kesibukannya menjadi ahli reparasi, belakangan dia juga mulai sibuk mempelajari ilmu agama. Entah setan apa yang merasukinya sampai ia ingin memperdalam ilmu agama. Semuanya bermula dari tindakan paling sederhana namun radikal yaitu: shalat lima waktu di masjid. Sebelumnya, jangankan shalat di masjid, suara adzan subuh saja dianggapnya sebagai alarm tidur paginya.

Dia juga mulai meninggalkan sesuatu yang lebih banyak mudharatnya. Begadang, misalnya. Rutinitas begadang ia tinggalkan demi rutinitas barunya sholat subuh di masjid. Kami yang menyaksikan perubahannya, hanya bisa ngeri dalam hati. Gak salah lagi, ini pasti pertanda kiamat akan segera terjadi. Eno, Iron Man Desa Way Huwi, manusia paling susah bangun pagi akhirnya bisa bangun pagi sendiri terlebih lagi setelah itu pergi shalat subuh di masjid. 

Dulu, jangankan sholat subuh di masjid, membuka mata di pagi hari saja rasanya pun sulit. Susah bedain mana Eno mana orang mati kalau dia sedang tidur. Koala, hewan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur, minder kalau lihat Eno tidur. Kami sempat berpikir mungkin satu-satunya yang dapat membangunkannya pagi hanyalah tiupan terompet Sang Kakala yang menjadi pertanda kalau kiamat akan segera terjadi.

Di saat yang sama, kami juga senang melihat perubahan yang dia alami. Ini bukti kalau rasa ingin belajar Eno cukup tinggi. Baginya menjadi ahli reparasi saja tidak cukup bila tidak diiringi dengan ilmu agama. "Apalah arti menjadi ahli reparasi kalau diri ini tidak islami." "Apalah arti jago elektronika kalau ujung-ujungnya masuk neraka." Ucapnya, Merinding aku dengarnya. Tapi se-islami apapun dia, se-alim apapun dia, bagi kami dia lebih cocok dianggap sesat.

Sebagai orang yang baru hijrah, sering ia memberikan fatwa beserta nasehatnya kepada kami semua. Namun kalau kau telaah semua fatwa, nasehat, yang ia berikan, cukuplah hal tersebut untuk membangkitkan para filsuf agung seperti Socrates, Plato, dari kuburnya. Fatwanya ngawur. Nasehatnya asal-asalan. Semoga saja setelah ini dia tidak pindah profesi menjadi Ustadz. Bahaya. Sholat wajib yang tadinya 5 kali sehari, bisa saja diubahnya menjadi 50 kali sehari. Maka dari itu ketimbang menyebutnya alim, kami lebih memilih menyebutnya sesat.

Sebagai teman, aku hanya bisa berharap semoga ini menjadi hijrah Eno yang terakhir kali. Jangan seperti yang sebelum-sebelumnya. Bilang ingin bertobat, tapi besok lanjut maksiat. Hari ini bilang ingin shalat. adzan shalat malah gitaran. Hari ini jadi teknisi, besok jadi komunis. Hari ini jadi ulama, besoknya atheis. Jangan. Jangan beriman karena musiman. Sementang film Ayat-Ayat Cinta sedang tayang di bioskop, sibuk kau meniru Fahri yang rajin ibadah. Berimanlah karena kau benar-benar ingin. 

Hijrahnya Eno menjadi hal terakhir yang kuketahui. Karena tak lama setelah itu, di akhir tahun keempat kuliahku, aku memutuskan untuk pindah kosan. Kosanku yang baru jaraknya cukup jauh dengan kos yang lama. Sudah pasti hal itu akan membuatku jarang bertemu Eno, dan bukan hanya Eno, tapi juga teman yang lainnya: Jepri, Rizqi, Wildan, Tobi, dan Tompul. Sedih, iya. Tapi harus terima. Pada akhirnya kami tidak akan selamanya hidup bersama. Jadi wajar saja kalau hari ini akan tiba.

Kabar terakhir yang kudengar tentangnya bilang kalau Eno masih istiqomah di jalan hijrahnya. Dia tetap menjadi seorang teknisi yang juga paham agama. Bahkan saat ini bengkelnya berada tepat di belakang masjid begitupun dengan tempat tinggalnya. Bekerja sambil mengingat Tuhan mungkin itu tujuannya. 

Kepada Bapak Kepala Desa atau Ketua RT setempat, jangan heran kalau tagihan listrik tiba-tiba melonjak naik. Jangan kaget sewaktu membayar. Karena semua daya, Eno yang pakai. Wajar kalau biaya listrik jadi boros. Soalnya semua daya tersebut digunakan untuk bengkelnya. Karena sudah menyalahgunakan fasilitas umat, bagaimana kalau dia kita rajam saja?

Bagi kalian yang tertarik membaca tulisan lainnya: 
Kosan Jahannam: Eno, Si Iron Man Desa Way Huwi Kosan Jahannam: Eno, Si Iron Man Desa Way Huwi Reviewed by Rizali Rusydan on May 08, 2021 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.