Ada beberapa momen sakral yang bagiku tak bisa diganggu. Bangun pagi bagiku itu sakral. Berak juga sakral. Sangking sakralnya, keduanya mesti dilakukan secara khusyu', senyap, dan tenang. Tidak boleh ada kebisingan apalagi kegaduhan. Dari sanalah semua hariku dimulai. Jadi, kalau kesakralan tersebut terganggu, maka rusaklah semuanya. Hariku jadi berantakan, mood pun tak karuan.
Pas lagi berak misalnya. Pasti lo nggak mau kan ada yang ganggu momen-momen
sakral pas lagi ngeden. Pas lagi enak-enak
ngeden, tiba-tiba sepupu lo nyelonong nanya, “Bang, Baim Wong berantem ya sama Nikita
Mirzani?” Tai yang udah di ujung,
mendadak jadi introvert. Ngambek dan nggak mau keluar.
Namun kali ini berbeda. Ketenangan yang biasa kurasa, sirna. Suasana pagi
ini terasa seperti anak SMK lagi tawuran: bising dan rusuh. Diawali dengan ibu
yang banting-banting peralatan masak, lalu adik yang teriak-teriak.
Suasananya chaos. Kayak kesurupan satu rumah. Ada yang
banting-banting, ada yang teriak-teriak, tinggal nunggu aja siapa yang makan
beling.
Aku pun terbangun dengan kondisi sakit kepala. Hancur sudah pagiku yang
sakral. Mau marah tapi takut dikutuk jadi Malin Kundang. Kan nggak lucu, baru
bangun tiba-tiba titit kaku karena berubah jadi batu. Diam aja, malah makin
pusing.
Tak lama susana kembali senyap. Mamak yang tadinya kesurupan Hulk, kini sudah
tenang dan sedang mengerjakan pekerjaan selanjutnya: mencuci. Saat itu aku
masih di kamar: duduk, diam, sambil mencoba
memulihkan kesadaran. Sementara semuanya berjalan normal. Yang terdengar
hanya suara sikat, mesin cuci, dan terkadang keluhan. Sampai suatu ketika,
dalam keheningan, mamak tiba-tiba nanya, "Zal ini plastik apa?"
Tadinya aku mau diam, pura-pura tidur. Namun karena takut bernasib sama
seperti peralatan masak, aku pun ke luar kamar memeriksa.
"Oh itu plastik rokok. Biasalah.." Jawabku singkat.
Mamak masih diam di tempat sambil memperhatikan bungkusan plastik yang ia pegang.
“Plastik rokok apa kek gini?”
Pas kulihat, beneran itu bukan plastik rokok sebagaimana biasanya. Melainkan
plastik segel putih kecil yang mana itu tipikal plastik yang biasanya dipake untuk
narkoba, terutama: sabu.
Mamak langsung menoleh ke arahku. Aku panik. Tanpa ditanya, Aku spontan jawab:
“Aku nggak tau plastik apa itu.” Jawaban standar orang yang udah ke-gep. Aku tau jawabanku barusan tidak
menjawab semua rasa penasarannya.
Lalu keluarlah Adikku—Sofi—dari kamar. Melihat abang dan mamaknya yang
pagi-pagi bising soal plastik, dia pun heran dan mendatangi kami berdua. Tanpa
merasa berdosa, dengan polosnya, dia nimbrung, "Oh.. ini sih plastik bekas
cat rambutku kemarin.." ucapnya.
"Kemarin pas aku beli cat rambut, rupanya gratis sarung tangan. Yaudah,
itulah bungkus sarung tangannya." Tambahnya.
Mamak menghela napas lega. Aku pun sama. Aku aman, nggak jadi dicoret dari kartu keluarga. Keadaan pun kembali tenang. Aku bebas dari tuduhan sebagai pemakai narkoba.
**
Semenjak tertangkapnya belasan mahasiswa yang pesta narkoba di Universitas Sumatera Utara, Mamak jadi parnoan. Gerak-gerikku ikut diawasinya. Tiap kali izin pergi, ia selalu mewanti-wanti. “Jauhin orang yang make narkoba. Ga usah temenin. Ga usah sekali-sekali kumpul sama mereka. Awas aja kau beli narkoba ya!”
“Aku kan miskin, mak. Mana mungkin beli narkoba.”
“Walaupun! Awalnya dikasih dulu kau gratis, habis itu barulah kau
disuruhnya beli. Selalu gitu triknya.”
“Ya, kan, aku miskin. Kalau nongkrong aja jarang beli makan, masa’ mau beli
narkoba?”
“Diam! Ikuti aja kata-kata mamak!”
“Tapi Mak—“
“Udah berani bantah kau ya sekarang?! Hah, inilah efek narkoba! Udah berani
ya kau bantah mamak!”
Serba salah memang apalagi kalau udah dicurigai.
Aku bukan takabur apalagi sesumbar kalau
nggak akan pakai narkoba, bukan. Tapi ya, untuk apa juga makai narkoba. Nyium bau
daki sendiri aja udah mabuk. Apalagi pas nyium bau jempol kaki, uhh.. nge-fly-nya bisa sampe langit ke
tujuh. Saat ini satu-satunya yang bikin aku candu cuma Vanesa. Ya, cuma dia
seorang.
No comments: