Jadi manusia itu bingungin. Udah bingungin, serba salah pula. Buat baik dikira pencitraan. Jadi brengsek diamuk masa. Pas lagi rajin dibilang ambis. Pas lagi malas malah dikata-katain motivator murahan. Beriman dibilang kuno. Menentang Tuhan malah bangga. Jadi diri sendiri dibilang sok edgy, ikutan tren dikata pansos. Duh, Gusti. Bingung ya jadi manusia. Tau gini, mending hidup jadi kangkung--hidup santai, tinggal ngerambat-rambat di comberan.
Buku-buku motivasi sudah dibaca. Guru-guru sudah kita dengarkan. Orang tua sudah kita patuhi. Tetap saja kita bingung soal arti menjadi manusia di hidup ini. Kita tidak memiliki buku panduan yang bisa ngebimbing dan menjelaskan secara jelas kepada kita tentang manusia dan bagaimana cara menjadi mereka.
Kita punya sebenarnya. Kitab suci namanya. Sayang, kita ini mahluk yang ingkar. Dan aku yakin tidak semua dari kita cukup religius hingga menjadikan kitab suci sebagai pedoman. Kalaulah kitab suci memang sudah menjadi pedoman, aku yakin dunia akan jadi tempat yang aman. Tidak ada pertikaian apalagi pertumpahan darah yang tak diperlukan. Meskipun sekarang kenyataannya sebaliknya.
Terlepas dari kebingunganku soal manusia, salah satu filsuf favoritku, Jean Paul Sartre pernah bilang, "Human is condemned to be free."
Sarte menganalogikan manusia sebagai subjek yang terlempar begitu saja ke dunia. Tanpa tujuan, tanpa persiapan, semuanya terjadi begitu saja. Demi mendapatkan tujuan, arti, dan makna hidupnya, ia mesti bergelut dengan semua persoalan dan masalah yang dialami semasa hidupnya. Dari semua persoalan dan masalah itulah nantinya ia memperoleh arti dan tujuan hidupnya.
Selama ini, kita pasti kerap bertanya-tanya, "Apa yang kulakukan ini sudah benar?", "Bagaimana nanti hasilnya?". Kita bingung sekaligus resah memikirkan jawabannya. Maka bersyukurlah mereka yang terlahir sebagai binatang, tumbuhan, terlebih robot karena sedari muncul mereka sudah memiliki tujuan.
Berbeda dengan manusia. Sejak lahir, manusia sudah dikutuk menjadi bebas. Meskipun ada ibu dan guru yang senantiasa menuntun, ayah yang selalu memberi petuah, teman yang selalu bersama, pada akhirnya mau jadi apa dan bagaimana hidup kita ke depannya, kita sendiri yang tentukan. Dan semua itu bermula ketika menjelang dewasa, setelah kita lulus dari SMA. Mau kuliah ataupun kerja, kau sendiri yang putuskan. Pada akhirnya kebebasan telah kita raih. Hanya dengan kebebasan inilah manusia dapat memilih takdir dan menjalaninya serta mendefinisikan arti hidupnya.
Namun lagi, kita ini mahluk yang suka melampaui batas. Kebebasan yang diberikan, kita gunakan sebebas-bebasnya hingga akhirnya kebablasan. Padahal kebebasan yang sebebas-bebasnya itu anarkis. Dan kebebasan kita sendiri itu dibatasi dengan kebebasan orang lain. Kita juga egois. Berpikir kalau kebebasan kita harus didahulukan. Biar kita dulu yang senang-senang, orang lain bisa tunggu sebentar.
Hal itulah yang kulakukan beberapa tahun silam.
Saat itu semester tujuh--di mana aku sedang berada di puncak kebosananku. Di saat yang sama, kuliahku sedang kacau-kacaunya. Sementara orang rumah sudah menuntutku untuk segera menyelesaikannya, motivasiku untuk melanjutkannya lenyap entah ke mana.
Alih-alih menuruti kemauan mereka, kuputuskan untuk cuti kuliah. Aku cuti selama setahun. Aku bosan melihat bahasa mesin, programming, juga tulisan kecil-kecil titik-koma yang sukar kupahami dan ingin beristirahat dari mereka semua. Maka berangkatlah aku ke kampung inggris.
Selama di sana, aku menyibukkan diri mempelajari bahasa baru. Di akhir pekan, kuisi waktu dengan mengajar sukarela di desa-desa terdekat. Ketika tiba waktunya liburan, aku dan temanku pergi ke Villa. Menghabiskan waktu berkeliling kota dan menginap. Sesekali mendaki gunung dan berkemah di pantai. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya, tak terasa sudah lima bulan berlalu. Waktuku sudah habis di sini. Saatnya pulang.
Waktu cutiku masih tersisa tujuh bulan lagi. Tujuanku selanjutnya adalah mengambil sertifikat TOEFL. Rasanya sayang banget kalau udah lama belajar bahasa inggris tapi belum punya sertifikat. Lagian, sebelum pergi ke Kampung Inggris, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa jika nanti aku kembali berkuliah lagi, aku harus memiliki pencapaian yang melampaui teman seangkatanku selama aku cuti. Aku harus menjadi orang yang paling bisa menguasai Bahasa Inggris. Dan salah satu caranya adalah dengan memiliki sertifikat TOEFL dengan skor di atas 550.
Sepanjang waktu ini, aku terus belajar dan belajar. Sesekali membaca dan menulis. Hingga tibalah waktunya ujian.
Semua soal kujawab. Meskipun, aku nggak yakin kalau jawabanku semuanya benar, tapi aku juga nggak yakin kalau semua jawabanku bakal salah. Tapi aku cukup yakin kalau skornya pasti lebih dari 550.
Dua minggu kemudian, hasil pun dibagikan. Seperti dugaanku sebelumnya, skorku di atas 550. Lebih tepatnya 567. Ini menjadi salah satu pencapaian buatku. Akhirnya aku berhasil menjadi orang yang paling menguasai Bahasa Inggris di jurusanku. Aku yakin teman-teman seangkatanku, bahkan dosen yang mengajar di fakultasku pun kuyakin belum tentu semuanya memiliki sertifikat tersebut.
Setelah itu aku kembali ke rutinitasku: membaca dan menulis. Mumpung masih ada sisa waktu pikirku. Sementara teman-temanku yang lainnya bangun pagi lalu pergi kuliah, aku bangun siang lalu lanjut membaca. Di sisa waktu ini, aku benar-benar ngelakuin apapun yang kumau. Mulai dari membaca buku, tidur tanpa kenal waktu, nonton youtube sampai mata bujel, liburan sampai bosan, apapun yang terlintas di kepalaku. Tapi tidak untuk kuliah.
Jika siang hari yang lainnya kuliah, maka aku tidur. Ketika malam, saat yang lainnya istirahat, aku mulai beraktifitas. Aku menjalani hidup sesuai yang aku mau. Aku hidup bebas dan semauku. Di masa ini, aku terobsesi pada kebebasan. Aku menjalani kehidupan yang bebas yang sangking bebasnya malah kebablasan.
Dan terus begitu sampai akhirnya aku jenuh.
Kebebasan yang Kebablasan
Reviewed by Rizali Rusydan
on
October 03, 2021
Rating:
No comments: