"Bun, hidup berjalan seperti bajingan.."
Ucap Nadin di lagunya: "Bertaut". Mungkin begitulah cara Nadin mengungkapkan kekesalannya soal hidup. Aku yakin semua orang pasti pernah merasakan hal serupa: merasa kesal dengan hidupnya. Entah karena hidup yang terlalu sulit, terlalu banyak cobaan, atau terlalu banyak drama yang tak kuasa tuk diikuti.
Aku pun begitu. Ada masa di mana aku sendiri bingung, kesal, ketika sedang menjalani hidupku. Kerap kali aku bertanya-tanya, "Sebenarnya, kehidupan siapa yang sedang kujalani ini? Apakah benar ini kehidupannya Rizali atau ini kehidupan yang diinginkan oleh orang-orang di sekitar Rizali?"
Aku tau. Dalam hidup kita tidak bisa semena-mena. Apalagi sampai berpikir kalau kehidupan kitalah yang harus diutamakan sementara kehidupan orang lain bisa belakangan. Tidak. Itu egois namanya. Terlebih lagi saat kau bergabung di sebuah organisasi.
Ketika kau bergabung di suatu organisasi, kau harus bersiap-siap untuk memiliki dua kepribadian. Kepribadian saat berorganisasi dan kepribadianmu sendiri. Yang mana dua hal ini tak boleh campur aduk satu sama lain. Dan ketika kau sudah bergabung di suatu organisasi, maka kepentingan organisasi lebih pernting daripada kepentingan dan kehidupanmu pribadi. Karena tujuan organisasi harus lebih dulu diwujudkan meski harus mengorbankan tujuan hidupmu sendiri, waktu, tenaga, biaya, dan tak jarang pula perasaan. Tak peduli sehancur apa hatimu suatu hari, ketika tiba waktunya berorganisasi, kau harus bersikap gagah seolah tak terjadi apa-apa. Itulah yang kurasakan belakangan.
**
Satu hari menjelang acara di organisasi yang ku ikuti, kucing peliharaan yang sudah kuanggap seperti anggota keluarga sendiri, mati. Padahal baru dua jam yang lalu kami main bersama, namun kini dia telah berpindah dunia.
Selepas subuh, Joy dipanggil Tuhan. Tubuhnya terbaring kaku dan dingin di sudut ruangan. Perasaan sedih, ngantuk, dan pusing karena baru bangun, campur aduk jadi satu. Aku diam selama beberapa saat mencoba mengumpulkan kesadaran. Aku harus tetap tenang dan berpikir logis. Acaranya dimulai besok, sementara itu, kucing peliharaanku baru saja mati. Jangan sampai aku larut dalam kesedihan.
Setelah kesadaranku kembali, aku langsung bergegas menyusun persiapan untuk acara dan pemakamannya Joy. Aku langsung bergegas mengeluarkan jasadnya ke luar rumah. Ku bersihkan tubuhnya dengan kain basah, kugali kuburannya, lalu aku kafani. Setelah semua prosesi tersebut selesai, barulah perlahan-lahan kutaruh dia ke dalam liang dan kutimbun hingga tak satupun bulunya terlihat. Sekarang, Joy sudah rata dengan tanah. Sampai sini aku masih biasa saja.
Kembali dari prosesi pemakaman, aku langsung menghubungi Vanesa. Penting untuk memberitahunya. Karena bagi kami, Joy bukan sekedar kucing peliharaan, tapi juga penghubung antara Aku dan Dia. Sehebat apapun kami bertengkar, sekeras kepala apapun kami berdebat, perihal Joy, kami satu pemikiran.
Begitu telponku diangkat, langsung terdengar suara Vanesa nangis sesungukan. Aku berusaha menenangkannya dengan bilang kalau semua ini memang sudah takdir dan ajal. Namun, di sela-sela tangisnya, Vanesa bilang, "Aku nggak mau lagi melihara kucing! Aku nyesal nggak jadi orang kaya. Kalau kita kaya, pasti dia ga menderita." Kalimat tersebut seolah-olah menancap di dadaku. Aku yang sedari tadi berusaha tegar: mulai dari membersihkan mayat sampai menguburkannya, mendadak langsung bercucuran air mata. Benar yang dibilang Vanesa. Seandainya aku lebih kaya, cukup uang, mungkin Joy nggak akan bernasib seperti sekarang. Air mataku semakin mengucur deras. Ucapanku sekarang tersendat-sendat. Aku mulai kesusahan bicara. Susah rasanya berbicara dengan jelas saat kau sedang menangis.
Itu tangisan pertamaku sejak belasan tahun lalu. Aku lupa kapan terakhir kali aku menangis. Tapi hari ini, tangisku tumpah. Gak kusangka, kehilangan anggota keluarga beda spesies ternyata rasanya bisa begitu menyakitkan.
Joy memang tipikal kucing manja dan rentan terserang penyakit. Dari awal memelihara sampai menjelang usia dewasa, enggak terhitung sudah berapa kali Joy masuk sakit. Bolak-balik masuk rumah sakit, dan tagihan pengobatannya pun terus membengkak. Dalam setahun, dia bisa 4-5 kali sakit. Namun itu bukan masalah seandainya aku "kaya". Dan jadi masalah seandainya "tidak". Karena tiap kali dia jatuh sakit, biayanya pasti jutaan. Dan tiap kali dia sakit, ada dua kehidupan yang dipertaruhkan: kehidupanku atau kehidupannya. Jika aku mengutamakan hidupku, Joy menderita. Dan jika aku memilih Joy, sebaliknya aku yang bakal menderita.
Aku tau: langkah, rezeki, pertemuan, maut adalah empat hal yang berada di luar kapasitas kita manusia. Kita bisa mengusahakan mereka semua, namun yang menentukan adalah Tuhan. Manusia bebas berencana tapi Tuhan yang menentukan. Maka dari itu, sedari awal memelihara Joy, aku sadar akan konsekuensi yang bakal kuhadapi. Aku tau hari di mana Joy terbaring kaku akan tiba cepat atau lambat. Sayangnya, hal itu terjadi di momen paling enggak tepat yaitu: satu hari menjelang acara besar.
Haruki Murakami pernah bilang, "Pain is inevitable. Suffering is optional." Rasa sakit itu pasti. Namun menderita karenanya itu pilihan. Begitupun dengan kematian. Kematian itu pasti. Karena setiap yang bernyawa pada akhirnya akan mati juga. Namun berduka, memuraminya, selama seminggu penuh itu pilihan.
Joy kini sudah mati. Arwahnya sudah naik ke langit. Namun sisa-sisa memori yang ia tinggalkan masih tersimpan erat di ingatan kami semua. Di sudut-sudut ruangan, di bawah kolong-kolong meja, di teralis jendela, bahkan atap rumah yang jebol akibat kebodohannya adalah saksi bisunya. Mungkin dia telah mati, namun dia abadi di hati kami.
Kehilangan Joy sama seperti kehilangan anggota keluarga, sama seperti kehilangan tempat curhat paling terpercaya, dan sama seperti kehilangan bestie yang menjadi pendengar sejati. Joy segalanya bagiku. Bahkan jika harus memilih antara Joy dan Organisasi, aku lebih memilih Joy apapun yang terjadi.
Namun realitanya berbeda ketika aku sedang berorganisasi. Sekesal dan sesedih apapun aku sebab kematian Joy, ketika tiba waktunya berorganisasi, rasa kesal dan sedih itu harus mampu kutahan. Bahkan ketika acara, aku lebih banyak tertawa ketimbang muram. Aku tertawa bukan karena suka bercanda, tapi untuk menutupi luka. Aku tertawa bukan karena aku suka, tapi karena aku kesal. Ketimbang menularkan perasaan sedih dan kesal ke orang-orang di sekitarku, aku menekan emosi itu lalu mengubahnya menjadi tawa.
Karena seperti yang kusebutkan sebelumnya, di organisasi kita harus memiliki dua kepribadian. Kepribadian saat sedang berorganisasi dan kepribadianmu yang asli. Ketika di organisasi, tujuan organisasi lebih penting dari tujuan hidupmu sendiri. Kepentingan bersama harus didahulukan ketimbang kepentingan pribadi. Bahkan saat hewan kesayanganmu mati kau harus bersikap seolah-olah itu tak pernah terjadi.
Bun, Hidup Berjalan Seperti Badjingan
Reviewed by Rizali Rusydan
on
February 08, 2022
Rating:
No comments: