Pagi itu, menjadi bangun pagi teraneh yang pernah aku alamin
selama aku jadi anak kos. Pintu digedor-gedor, engsel pintu dinaik-turunkan
sesuka hati sehingga menimbulkan suara bising yang mengganggu orang yang sedang
tidur. Kaget, akupun langsung bangkit dari tempat tidur dan buru-buru membuka
pintu kamar, lalu Wildan pun masuk dan duduk di depanku. Dengan wajah super
suntuk baru bangun tidur, aku menatap wajahnya dan berharap kalau yang ingin
dia katakan bukanlah berita buruk untukku dan bukanlah berita kalau aku mau
diusir dari kos-an karena ketahuan suka ngambil nasi ibuk kos.
Dengan intonasi nada yang pelan Wildan bilang kalau, “Zal,
bapaknya Jepri Meninggal.”
**
Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, kabar itu
membuatku kaget. Ekspressi wajahku yang tadinya lusuh penuh iler berubah
menjadi tegas menandakan kalau sepenuhnya aku sudah sadar.
Aku langsung buru-buru cuci muka dan langsung masuk ke kamar
Jepri.
Waktu masuk ke kamarnya aku melihat kalau Jepri sedang nangis
sesungukan sambil memandang layar laptopnya dan jelas terlihat kalau tangisannya
seperti di tahan. Sebagai sahabatnya, saat itu harusnya aku bisa menenangkan
perasaannya, tapi sialnya, tidak satu katapun yang bisa keluar dari mulutku
untuk menenangkannya. Hari itu terlihat seperti bukan diriku yang biasanya saja,
yang biasa rewel dan menghibur dengan jokes-jokes
garing, pagi itu tidak sepatah katapun bisa keluar dari mulutku untuk
Jepri. Kematian menjadi hal yang sensititf
bagi setiap orang apalagi jika itu menyangkut orangtua. Aku gak mau ucapanku
salah sehingga bisa menyakiti hatinya maka dari itu lebih baik aku diam dan
mengelus punggungnya karena hanya itulah yang bisa kulakukan sebagai seorang
sahabat.
Karena pagi itu ada kuliah, aku gak bisa menemaninya terlalu
lama karena aku harus segera mandi dan pergi ke kampus.
Se-sampainya di kampus, tiap teman satu prodi yang aku
jumpain langsung kuberitahu tentang keadaan ayahnya Jepri. Mereka semua
terkejut, namanya juga kematian siapapun yang mendengarnya pasti terkejut kalau
aja kematian datangnya bilang-bilang semua orang pasti santai saja. Kelar
kuliah, kami semua sepakat untuk pergi ke kosku demi mengucapkan rasa
belasungkawa kepada Jepri.
Saat tiba di kosku, aku langsung menuntun mereka ke kamar
Jepri dan mempersilahkan mereka masuk satu-persatu. Mereka duduk di sekitar
Jepri, menunduk dan terdiam, tidak ada satupun kata-kata yang bisa keluar dari
mulut mereka persis seperti apa yang terjadi padaku tadi pagi. Tak mau
tenggelam dalam rasa hening dan canggung yang luar biasa lantas akupun memecah
keheningan tersebut.
“Jep, kami semua speechless
gak bisa ngomong apa-apa waktu ngeliat kau. Buka karena kami gak mau ngasih
ucapan bela sungkawa untukmu, tapi ya, kematian itu hal yang sensitif,
ketimbang salah-salang ngomong makanya kami diam aja.” Ntah dapat ide darimana
tiba-tiba aku bisa ngomong kayak gini."
Jepri hanya mengangguk dengan air mata yang masih mengalir
jatuh diatas pipinya.
Sebagai sahabat, saat itu yang hanya bisa kulakukan hanyalah
membantunya mencari tiket pesawat yang murah untuk dia bisa pulang ke Medan.
Tiket pesawat pun dapat dengan catatan Jepri harus tiba di Bandara sebelum jam
satu karena pesawat akan Take off sekitar jam dua.
Rutinitas kuliahku hari itu super padat. Aku ada kuliah dari
jam tujuh pagi sampai jam enam sore jadinya aku tidak bisa mengantar Jepri ke
Bandara. Mungkin hanya dengan men-doakannya sampai dan selamat ke tujuang sudah
cukup.
Hari ini tanggal 29 Oktober, genap sudah dua hari Jepri tidak
ada di kos. Dengan tidak adanya keberadaan Jepri di kos sangat terasa untukku.
Biasanya, yang paling cepat pulang ke kos kalau gak aku ya si Jepri dan yang
paling betah di kos juga aku dan Jepri. Ntah kenapa dari dulu aku paling benci
kalau pas pulang ke kos itu gak ada orang. Bukan ketakutan, aku paling males
kalau di kos sendiri karena rasanya sepi. Buat apa banyak-banyak orang di kos
kalau suasananya sepi. Rasa sepi di kos menjadi sedikit penderitaan bagiku.
Penderitaanku semakin gila waktu tau kalau bulan oktober ini sampe tanggal 31 bukan 30. Uang habis sisa 50 ribu, sedangkan jarak dari tanggal 29 ke 31 masih ada dua hari lagi. Disinilah skillku me-manage uang sebagai anak kos diuji. Ini juga kali pertama aku ngerasain jadi anak kos yang kere diakhir bulan. Mau ngeluh juga percuma, rasa pahit gak akan berubah jadi manis kalau kita selalu ngeluh, jalani aja dulu, manatau sewaktu diperjalanan rasa pahitnya berubah jadi manis, semanis- Pevita Pearce lagi. Duh, jadi kangen mbak Pevita.
Anak-anak Kos Berduka
Reviewed by Rizali Rusydan
on
October 29, 2016
Rating:
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.. Semoga bapaknya Jepri diterima di sisi Allah SWT. Aamiin.
ReplyDeleteIya nih, aku jugak ngekos sendiri. Temen temen pada kerja malem, rasanya sunyi banget :?
hooh paling bete kalau udah habis kuliah, pulang ke kos, eh, pas di kos sepi kagak ada orang.
Delete