Kalian ingat enggak berapa banyak persimpangan jalan atau lampu merah yang pernah kalian
lewati? Pernah ingat atau pernah dihitung berapa jumlahnya? Atau gini, ketika sedang
berjalan pernah enggak lo perhatikan berapa banyak jumlah pohon di pinggir
jalan yang udah lo lalui?
Tentu tidak.
Aku pun begitu. Kita tak peduli pada apa yang pernah kita lewati. Kita juga tak
pernah mau tau berapa banyak hal yang sudah kita lalui. Kita hanya terus
melangkahkan kaki dan ketika berhenti, barulah kita sadar kalau ternyata
kaki sudah melangkah sejauh ini.
**
Beberapa bulan
yang lalu tepatnya pada bulan Agustus 2018, aku dan teman-temanku melakukan pendakian.
Kali ini tidak main-main kami mencoba mendaki Gunung Semeru. Seperti yang kalian
tau, Semeru merupakan gunung tertinggi yang ada di Pulau Jawa dengan ketinggian
mencapai 3.676 MDPL (Meter di atas Permukaan Laut).
Semeru merupakan gunung pertama di Pulau Jawa yang aku daki dan karenanya ini menjadi tantangan
terbesar untukku.
Kalau diingat-ingat,
pendakian Gunung Semeru rasanya terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan. Sampai
sekarang aku enggak percaya kalau orang sepertiku mendapatkan kesempatan untuk
bisa menapakkan kaki di Puncak Mahameru tempat dimana bersemayamnya para Dewa. Begitu
pula dengan teman-temanku lainnya, kami semua berhasil sampai ke puncak dan kembali
ke rumah dengan selamat.
Selesai
mendaki Semeru, kami beristirahat dan memulihkan kondisi fisik terlebih dahulu
di rumah seorang kerabat yang ada di Malang. Hampir setiap malam, kami selalu cerita
tentang semua hal yang terjadi selama pendakian. Tentang menakjubkannya ciptaan
Tuhan yang satu ini.
Disela-sela
cerita tersebut, salah satu temanku memberitahu kalau ternyata jarak yang kami
tempuh dari desa pertama: Desa Ranu Pani (sebuah
desa dimana semua pendakian menuju Semeru akan bermula dari sini) hingga sampai
ke puncak Mahameru menempuh jarak kurang lebih sekitar 20-30 km. Itu masih jarak
yang ditempuh ketika pergi, belum lagi ketika kembali dari puncak gunung menuju
Ranu Pani, kalian bisa hitung sendiri. Berarti untuk pendakian kali ini kami
menempuh jarak kurang lebih 40-60 km (silahkan
dikoreksi jika salah).
Semuanya kaget
ketika mendengar hal tersebut. Tanpa kami sadari, ternyata kami telah melewati jalur
yang panjang dan bagiku itu tak masuk akal. Dengan berjalan sambil menyandang
carrier, melintasi jalur
berpindah-pindah dari pundak gunung yang satu ke pundak gunung lainnya, dan saat
itu yang kami pikirkan adalah kami hanya harus membunuh jarak dan waktu. Pokoknya
kami semua harus sudah sampai di base camp sebelum malam.
**
Pendakian Semeru menjadi salah satu perjalanan yang cukup berarti bagiku. Kita semua sepakat kalau perjalanan
adalah sesuatu yang menyenangkan. Tidak hanya itu, banyak hal nantinya yang
bisa lo dapet dari sebuah perjalanan. Bukan foto, bukan pula cendera mata. Dalam sebuah perjalanan yang terpenting
bukan dimana destinasinya, tapi berapa banyak pelajaran yang bisa lo dapat
mulai dari lo berangkat sampai lo pulang. Itulah yang disebut
dengan perjalanan.
Tapi semuanya
tidak terasa semudah itu. Ada kalanya di tengah perjalanan aku
menjadi ragu. Ingin kembali ke tempat semula. Berhenti sejenak, menoleh ke belakang, mengingat kembali jengkal demi jengkal langkah
kaki yang telah kubuat dan saat itu barulah aku sadar ternyata aku tak bisa kembali ke belakang.
Terpikir untuk kembali, namun rasanya tak mungkin mengingat selama
ini sudah berapa banyak waktu dan jarak yang kubunuh.
Namun sulit rasanya kaki bila
harus melangkah maju karena aku sendiripun ragu. Karena di depanku
nanti telah menunggu ‘keraguan’ dan bila aku kembali pulang telah menunggu pula
‘kesia-siaan’. Keraguan tentang apakah semua hal yang kulakukan ini benar dan
kesia-siaan apa yang akan kuterima karena telah membuang-buang waktu pada
sebuah perjalanan yang tak bermakna.
“Aku tak bisa kembali lagi,” batinku. Saat ini hanya ada satu cara: terus maju dan menghadapi keraguan tersebut. Selama seorang pria berjalan dengan penuh keyakinan di dalam hatinya, selama itu pula kaki berubah menjadi kendaraan terbaik dan hati menjadi dinding baja terkuat yang melindungi tekadnya.
Namun waktu, jarak,
yang telah kubunuh, semuanya melahirkan hal baru. Pembunuhan yang kulakukan
kepada waktu menjelma menjadi pengalaman, teman, cerita, dan kenangan. Ini
menjadi salah satu pengalaman luar biasa dalam hidupku. Bertemu orang baru dan menghabiskan
waktu bersamanya dengan belajar. Meskipun fana namun semua itu indah.
Tuhan memang senang
menciptakan hal indah yang bersifat sementara.
Setelah semua perjalanan
itu selesai, sampailah aku pada titik keraguan seperti yang kukatakan sebelumnya. Disini
aku merenungi kembali setiap hal yang terjadi mulai dari aku berangkat hingga pulang. Apakah
yang kulakukan ini benar? Bagaimana dengan waktu yang kuhabiskan bersama mereka
disana apakah itu sudah cukup berharga?
Dari dalam kamar,
kuamati sawah yang terbentang di luar jendela. Nyanyian jangkrik malam beserta
suara katak peminta hujan semakin menambah rasa sunyi. Muncul perasaan sepi di
dalam diri. Biasanya aku tak melakukan hal seperti ini. Biasanya, di
waktu-waktu seperti ini aku sedang berada di sebuah warung kopi. Menyeruput secangkir
kopi sambil menunggu yang lain. Ketika semuanya lengkap, barulah
kami mulai belajar dan membahas soal. Cukup serius, namun sesekali diiringi canda
tawa. Namun semua pikiran itu sirna ketika aku sadar kalau sekarang kami sedang
menjalani kehidupan yang berbeda, tinggal di tempat yang beda, dan berada di
zona waktu yang berbeda pula. Saat ini semuanya berubah menjadi rindu.
Aku pikir, jika jarak dan waktu dapat dibunuh, apakah rindu ini juga termasuk?
Kita Semua Adalah Pembunuh
Reviewed by Rizali Rusydan
on
January 28, 2019
Rating:
No comments: