Alan Turing pernah berucap, “Kau tau mengapa manusia suka melakukan
kekerasan? Karena rasanya menyenangkan.”
Manusia adalah mahluk yang paling berakal, namun pula yang paling sering menumpahkan darah. Terbukti, akal saja tak cukup, harus didampingi oleh moral/kemanusiaan agar kegilaan yang bernama "nafsu" mampu dikendalikan dari saling menghancurkan.
Menjadi superior, berkuasa atas yang lain, merupakan hasrat tergelap
manusia yang tersembunyi jauh di dalam jiwa. Semua ingin dipandang, ingin
diperhatikan, ingin memimpin, haus akan kuasa, lebih haus pada kekuasaan,
karena itu, sinislah pada kekuasaan! Apapun itu bentuknya!
**
Sejak kemarin, angin tak sedap tentang “kerusuhan” mulai tercium, bertiup
tak beraturan, tersebar luas. Aku yakin, besok akan ada demonstrasi. Demonstrasi
terkait penolakan hasil pemilihan presiden tahun 2019. Tak apa, kupikir itulah
yang dinamakan demokrasi, dimana semua orang bebas mengajukan aspirasi dan
jangan coba kau bungkam!
Lalu aku berbaring, mengistirahatkan sendi dan perasaanku di atas sebuah
kasur yang sederhana. Terbuai aku dalam pelukannya. Semuanya terasa luruh.
Waktu diam, detik berhenti berdetak, menghentikan aktifitas penuaan yang
biasanya ia lakukan. Aku pun tertidur.
Paginya aku terbangun dan menjelma menjadi seorang manusia purba
yang ketinggalan berita. Aku terkejut. Pagi itu, notifikasi berita bermasukan,
satu-persatu memenuhi layar depan handphone. Ada apa lagi ini pikirku?
Bentrok terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Batu, pecahan kaca,
berserakan. Saling lempar, dorong-dorongan tak mau kalah. Si merah tanpa kau
suruh sudah berkobar di bebarapa lokasi. Api merambah, menjadi semakin
berkuasa, menunjukkan kesan merahnya yang mengerikan. Ikut tersulut bersama emosi
para demonstrasi. Belum lagi ban dilemparkan kepadanya, pas lengkap sudah, dia
semakin menyala!
Jakarta menyeramkan! Jalanan ibu kota juga mengerikan!
Bentrokan terjadi antara warga (demonstran yang menolak hasil
pemilihan) dengan aparat kepolisian. Setidaknya itu yang bisa kurangkum dari beberapa
berita yang baru saja kubaca.
**
Harus diakui bahwa musim politik kali ini cukup panas dan
menggerahkan. Hawa panas dari aroma perselisihan dapat terus kau rasa. Demonstrasi
adalah hal biasa yang terjadi pada negara yang menganut paham demokrasi.
Menyuarakan keadilan karena menolak adanya kecurangan adalah sebuah
keharusan. Lakukan! Turun ke jalan, menuntut keadilan, itu perlu dilakukan. Di satu sisi, bergerak mengerahkan pasukan demi menjaga kestabilan
negara juga harus dilaksanakan demi keamanan negara. Sebagaimana pemerintah
yang memegang tampuk kekuasaan, harus ikut turun membantu menjaga kerumunan massa.
Harusnya seperti itu.
Faktanya, kedua belah pihak saling bentrok, terlibat aksi dorong,
demi memperjuangkan kebenaran yang mereka pertahankan. Polisi teguh pada
kebenarannya untuk menjaga ketertiban negara, demonstran juga teguh pada
kebenerannya untuk memerangi kecurangan. Keduanya saling serang,
lempar-lemparan, menyerang, bertahan, sial jatuh korban.
Kalau sudah begini, siapa yang salah? Siapa yang harus bertanggung
jawab? Siapa yang harus disalahkan?
Jika kebenaran adalah sesuatu yang kasat mata, mudah bagi para
pengambil keputusan untuk memperjuangkan apa yang semestinya diperjuangkan. Lalu,
jika kesalahan adalah sesuatu yang gampang ditentukan, gampang, kejadian buruk
pasti mampu dicegah, dihindari, dan jelas siapa yang harus diadili di balik
segala kekacauan yang terjadi.
Semuanya menjadi abu-abu sekarang. Bingung siapa yang benar, dan apa
yang harus diperjuangkan.
Kepada semua orang yang merasa terganggu atas kejadian unjuk rasa,
kaliah boleh berkomentar, menyuarakan apa yang ingin kalian suarakan. Namun, sebisa mungkin hindari berbagai pengucapan yang merupakan masalah pribadi. Berhentilah
mengatakan kekecewaanmu pada negara jika itu hanya berupa kekecewaanmu pribadi
saja bukan kekecewaan yang lainnya.
“Pengen pindah negara…”
“Malu hidup di negara ini…”
“Dasar! Demo enggak berguna…
bla… bla.”
“Beginilah kehidupan di
negara berkembang.”
Persetan dengan kalian! Itu hanya menurutmu saja. Tidak bisakah kau diam
sejenak? Berhentilah memuaskan ego ataupun kekecewaanmu. Bungkamlah ego dan
buasnya ketikan jari.
Ini merupakan tragedi besar, pada kemanusiaan, pada demokrasi. Mari
kita saling rendah diri, belajar dari apa yang terjadi.
Ketika nyawa manusia jatuh atau dipertaruhkan, ini bukan lagi sebuah
unjuk rasa apalagi sebuah perayaan dalam demokrasi, ini adalah tragedi. Tak ada
lagi kata-kata yang harus disampaikan kepada tragedi yang memakan korban nyawa jiwa
manusia.
Rakyat adalah pemegang kekuasaan, sedang Presiden, pemimpin,
merupakan seseorang yang berhak menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh
rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan. Yang memilih, yang membangun, lalu
dia pula yang menghancurkan.
Kekuasaan ada di tangan rakyat, namun tiap kali para elit politik
bertikai, selalu pula rakyat yang menjadi korban. Ketika elit politik mulai
berseberangan pendapat, disitulah nyawa rakyat terancam.
Kenapa tidak para petinggi politik yang berseberangan pandangan
politik saja yang saling baku hantam? Biar kalian yang menjadi korban. Meski
rakyat harus turut andil dalam pemerintahan, rakyat pula yang cenderung menjadi
korban. Maka dari itu, biar para elit saja yang dikorbankan. Bila yang jatuh
menjadi korban para elit politik, biarlah jatuh. Suatu waktu rakyat kan
menggantikanmu. Tiap kali kau jatuh, ada 1000 rakyat yang bisa menggantikan
posisimu. Tunggu saja.
Kita tidak sedang berperang diantara kubu yang paling benar dengan
kubu yang paling salah. Karena tidak ada yang benar-benar BENAR, dan tidak ada
pula yang benar-benar SALAH. Tergantung dari mana kau melihat dan sudut pandang apa
yang kau pakai.
Saat ini demonstrasi dianggap sebagian orang sebagai ajang
keren-keren an, kau salah kawan, itu adalah perjuangan. Aku tidak mau turun ke
jalan membela perihal yang abu-abu. Menuntut keadilan karena hasil pemilu dirasa
curang, mendiskualifikasi Pak Jokowi lalu mengangkat Pak Prabowo sebagai
Presiden sedangkan beliau sudah jelas-jelas kalah. Hilang netralitas mahasiswa.
Belakangan ini, kulihat mahasiswa seperti kuda yang ditunggangi oleh partai
politik. Keputusannya tidak jauh-jauh dari kepentingan partai. Omong kosong
bila membela kedaulatan rakyat. Kenapa tidak unjuk rasa atas kematian pergawai
KPPS yang berjumlah hampir 600 orang itu? Itu lebih penting menurutku. Ini
hanyalah pendapatku saja.
Para demonstran (warga umum, mahasiswa, anggota ormas)—kalian
menuntut keadilan atas kecurangan yang terjadi pada pemilihan dengan
mendiskualifikasi Bapak Jokowi yang memenangkan pemilu. Setelah itu, menaikkan
Pak Prabowo sebagai Presiden. Tentu tak bisa. Kalau kalian menganggap kubu sebelah
menang dengan cara yang curang, kubu sebelah yang dirugikan harus mampu
menunjukkan bukti dan gugatlah ke MK. Bila gugatan diterima, maka yang kalian
inginkan terwujud. Kalau gugatan ditolak karena bukti tidak kuat, maaf-maaf
saja, Pak Prabowo dengan jiwa ksatria harus rela mengakui kekalahannya.
Sekali lagi, kita tidak sedang berperang melawan iblis. Tidak sedang
berperang diantara pihak yang benar dengan pihak yang salah.
Negaraku sedang tidak baik-baik saja.
Suatu
hari, 22 Mei 2019
Negaraku sedang tidak baik-baik saja
Reviewed by Rizali Rusydan
on
May 27, 2019
Rating:
No comments: