14 Mei 2018
Hidup adalah misteri bagi mereka yang masih membumi. Begitu juga hari esok; adalah misteri sedang hari ini adalah perjuangan tanpa henti.
Di pojok-pojok kota yang kumuh, tempat dimana terminal bus berada,
hiruk-pikuk kehidupan terasa, sebagian masyarakat meraih kehidupan disini.
Pedagang asongan yang menjajakan dagangan, kernek
bus yang sedari tadi sibuk meneriaki lintasan bus yang akan dilalui oleh supirnya,
serta calon penumpang yang hilir mudik silih berganti keluar-masuk terminal.
Panas-hujan tiada arti. Bagi jiwa-jiwa polos yang berjuang untuk
hidup—karena sesuap nasi itu kebutuhan, setiap tetes keringat adalah perjuangan,
setiap keluh maupun kesah hanyalah candaan di saat senggang.
Sebelumnya hidup terasa mudah saat kau muda lalu berubah menjadi
tragedi ketika tua. “Tunjukkan padaku
seorang pahlawan dan aku akan menuliskan kalian tragedi” ucap Fitzgerald
suatu hari. Kupikir, itu tepat bila harus dijadikan sebuah perumpamaan. Saat
usia muda, kau merasa bahwa hidup terasa mudah, karena kita menganggap bahwa adalah
pahlawan bagi diri sendiri. Tiap kali usai melakukan kebodohan, kita selalu
membelanya—membela kesalahan yang dilakukan. Persetan dengan mengakui kesalahan. Aku bertanggung jawab atas diriku juga
kebodohan masa laluku, karena aku adalah pahlawan untuk diriku sendiri, tentunya.
Waktu bergerak, jarum jam berputar, kau yang dulunya kau pahlawan
sekarang hanya bisa mengutuki diri sebagai pecundang sejati. Menyesal karena
dulu sering melakukan banyak kekeliruan tetapi masih menuntut sebuah kebenaran di
baliknya. Dan hidup akhirnya berubah dan kau anggap begitu kejam.
Ngeri bila harus membayangkan di kala umur menjelang kepala ‘5’ kau
masih harus berdesak-desakan, duduk panas-panasan, menjajakan dagangan, padahal
seharusnya kau bisa saja duduk diam di rumah sambil memperhatikan cucu, lalu
minum the dan bersantai hingga menjelang sore.
Tapi begitulah, karena hidup adalah perjuangan.
Meski kubertanya, Tuhan mungkin tak menjawab. Takdir dapat diubah,
semua orang meyakininya. Aku ragu. Apakah dari awal mereka tercipta, mereka
ditakdirkan sebagai pedagang asongan? Tentu tidak. Aku tak yakin, bila dulu
saat guru bertanya “kalau sudah besar kau mau jadi apa? Apa cita-citamu?” aku
cukup yakin diantara mereka tidak ada seorang pun yang akan menjawab ingin
menjadi pedagang asongan. Aku cukup yakin untuk hal yang satu ini. Atau, “aku
ingin jadi kernek bus saja,” ucap
seorang bocah laki-laki dari sudut ruang kelas. Aku yakin, dia pasti tak akan
mengatakan hal tersebut.
**
Suatu waktu kau akan merasa bahwa hidup menjadi begitu kejam, tak
kenal ampun, dan selalu bersiap untuk menindas. Bersiaplah, karena suatu saat
dia akan melakukan penindasan, sampai-sampai kau berpikir yang bisa kau lakukan
hanyalah membiarkannya, pasrah, sampai tua. Hidup akan menjadi begitu mengerikan
(seperti yang ku katakan sebelumnya) bila kau tak berpegang pada apa-apa.
Disini, di ujung kota ini, mereka hidup: orang-orang di ujung jalan
yang selalu ditindas masa.
Suatu sore, di sebuah
terminal.
Orang-Orang di Ujung Jalan
Reviewed by Rizali Rusydan
on
May 20, 2019
Rating:
No comments: