Memasuki awal usia dua puluhan, banyak hal yang semakin ingin
kubicarakan, kubahas, dan tentu saja kutuliskan. Banyak orang yang mengira ketika mereka sudah menginjak
usia 17 mereka sudah dapat dikatakan dewasa, mereka keliru. Mereka lupa bahwa larangan minum minuman keras diberlakukan bagi mereka yang masih di bawah usia
20. Mereka juga keliru tentang beberapa hal. Sesungguhnya usia bukanlah tolak
ukur apalagi patokan seseorang dapat dikatakan dewasa.
Walaupun aku sebenarnya masih bingung untuk memposisikan diri:
apakah aku seseorang yang dewasa, atau hanya sekedar bertambah tua? Namun tetap saja
masih banyak hal yang ingin kubicarakan dan kutulis untuk sekarang. Dan karena hal
itu pula aku lebih sering menulis sesuatu secara spontan. Bukan sesuatu yang
sudah kupikirkan dari jauh-jauh hari sebelumnya. Salah satunya seperti yang sekarang sedang kau baca.
**
Satu tahun yang lalu aku ingat bahwa aku pernah mengatakan sesuatu kepada seorang perempuan
yang kukagumi bahwa “Sebelum lulus kuliah aku pasti sudah bekerja. Mendapatkan
uang dari hasil usahaku sendiri.”
“Bagaimana caranya?” tanyanya.
“Entahlah, aku juga enggak tau. Tapi aku yakin suatu hari hal itu akan
terjadi.”
Satu tahun berlalu dan disinilah aku. Menghabiskan sisa waktu liburan dengan
mengajar Bahasa inggris di suatu tempat khusus bagi mereka yang ingin
belajar Bahasa inggris. Disebut dengan Kampung Inggris, berlokasi di Pare, Kediri,
Jawa Timur, Indonesia.
Mengajar menjadi salah satu keinginan yang entah bagaimana muncul begitu saja dan menjadi sesuatu yang paling kuinginkan. Setidaknya sekali seumur hidup aku ingin melakukannya. Padahal aku sadar kalau aku
bukanlah seorang guru, hanya seorang anak laki-laki biasa yang jika menyukai
suatu hal, aku akan menekuninya. Ketertarikanku pada Bahasa asing sudah
membawaku pada titik tempatku berdiri sekarang.
Mungkin dulu kau adalah seorang siswa yang berbakat, namun kata “berbakat”
barusan bisa berganti dan hilang begitu saja ketika kau naik tingkat. Yang
sebelumnya seorang murid menjadi seorang guru. Semua kebanggaanku pada kata “bakat”
hilang begitu saja. Beradaptasi pada lingkungan baru merupakan sebuah keharusan
dan tetap saja itu membuatku kesulitan.
Di minggu pertama, tiap kali mengajar di kelas, meskipun
cenderung tak terlihat, sesungguhnya aku merasa sangat berdebar-debar.
Rasa-rasanya jantungku memompa darah 2x lebih cepat dari biasanya. Badanku gemetar,
untungnya suaraku tidak goyang. Hanya rasa percaya diriku saja yang terguncang. Butuh beberapa minggu sampai akhirnya aku bisa beradaptasi dengan sistem
dan lingkungan baru seorang guru.
Menjadi seorang guru pada bidang yang aku sukai merupakan salah satu impianku.
Aku sudah memimpikan hal ini dari tahun lalu dan berusaha sangat keras untuk
mewujudkannya. Ditambah lagi, saat itu aku sedang jatuh cinta kepada seorang
gadis yang ayahnya juga seorang pengajar Bahasa Inggris.
Setahun setelah berhasil mewujudkan impianku untuk mengajar, yang
kurasakan sekarang hanyalah: hampa. Bosan yang tak terkira. Yang menjelma
menjadi jurang gelap yang dalam di saat aku memikirkannya sendirian.
Bangun pagi, mandi, lalu berangkat menuju ruang kelas pukul:
06.00. Mengajar satu pelajaran, lalu selesai dan isitirahat tepat satu jam
setelahnya. Kelas berlanjut pada pukul 10.00 hingga 11.30. Lalu kembali masuk
pada pukul 14.00 hingga 17.00. Setelah semua itu selesai, barulah aku kembali
ke kamarku, beres-beres, belajar sedikit, lalu tidur. Terus seperti itu selama
berminggu-minggu. Dan disinilah kata bosan pertama kali muncul.
Aku tau kalau bosan pada suatu hal adalah hal yang lumrah dan biasa terjadi. Aku mencintai hal yang kulakukan. Namun cinta saja tak cukup,
harus ada kesabaran, keteguhan, dan harus diirongi dengan sedikit rasa syukur. Aku
bersyukur dapat mewujudkan impianku, namun di saat yang sama aku kehilangan
sensasi dimana aku bermimpi dan berusaha keras mewujudkan hal yang sudah aku
miliki sekarang. Menikmati sensasi aneh dimana kenyataan masih merupakan
sesuatu yang buram, tidak jelas, dan yang bisa kau lakukan hanyalah terus berusaha
dan percaya.
Bisa kau bilang aku adalah seorang Somnambulis di saat yang sama. Seseorang
yang tidak menyadari bahwa dirinya sendiri sebenarnya sudah mati. Aku hidup dan
mati dalam waktu yang sama saat menjalani hal yang kuimpikan. Ternyata aku
lebih mengidam-idamkan sesuatu yang tadinya masih berupa sebuah impian ketimbang menjalani impian yang sudah menjadi kenyataan. Hal yang kuimpikan
ternyata bisa berbubah menjadi sesuatu yang mengerikan seperti yang kurasakan
sekarang.
Berkali-kali kukatakan bahwa menjalani rutinitas baru sebagai
seorang guru ternyata jauh berbeda saat menjadi seorang murid. Rasanya tidak
nyaman. Namun untuk mundur dan menyerah menjadi seseorang yang lebih
senang bermimpi ketimbang berusaha sebaik mungkin ketika impiannya sudah
terwujud, bukanlah aku.
Meskipun sekarang semua rutinitas mengajar benar-benar berusaha
membunuhku, baik itu: kreatifitas, kebebasan, dan waktu luang, dan di saat
yang sama juga membuatku mati dari dalam, tidak akan membuatku lupa bahwa masih
ada mimpi lainnya yang menunggu untuk aku wujudkan. Menjadi seorang
penulis yang disela waktu kosongnya dipakai untuk mengajar. Sekarang aku
mengincar sesuatu yang lebih besar dan lebih sulit lagi dari sebelumnya. Suatu hari hal ini
juga akan aku wujudkan! Percayalah!
Aku—orang yang kecanduan bermimpi, yang juga kecanduan untuk mewujudkannya.
Mati dari dalam
Reviewed by Rizali Rusydan
on
July 21, 2019
Rating:
No comments: