Ada masa dimana aku benar-benar ragu. Bukan hanya kepada diriku,
tapi kepada semua hal yang ada. Ini berat, sungguh. Hidup di dunia, terikat oleh
berbagai macam hubungan. Mustahil untuk tidak memilikinya satupun, karena aku
sendiripun lahir dari rahimnya ibu, dan seperti yang kita tahu: sudah
sepastinya ibu dan anak memiliki ikatan yang saling terhubung. Aku tahu itu.
**
Aku kaget tak karuan saat ibu bilang bahwa kakak pertama telah
dilamar dan yang lebih mengagetkannya lagi, ketika ibu bilang bahwa pernikahan
akan diadakan satu bulan setelahnya. Kenapa semuanya begitu tiba-tiba? Hari ini
dilamar lalu sebulan kemudian menikah. Membingungkan. Hanya ibulah yang tau
akan jadi seperti apa acara tersebut.
10 hari berlalu setelah hari pernikahan. Proses pernikahan berlangsur lancar. Kedua mempelai terlihat bahagia,
banyak orang yang tertawa. Sekilas kulihat wajah ibu murung. Anak
perempuan yang sudah dibesarkannya sekian lama kini sudah dipinang. Bukan lagi
menjadi miliknya, sudah menjadi milik seseorang. Tapi apa mau dibilang, memang begitulah
hidup.
Namun ada hal menarik yang terjadi saat itu. Seperti yang kau
tahu, mulai dari awal bulan Juni sampai Agustus aku sedang berada di Kampung
Inggris untuk mengajar. Kabar bahwa kakak tertuaku dipinang saja sudah cukup
membuatku kaget, ditambah lagi ibu bilang bahwa pernikahan akan diadakan satu
bulan setelahnya, benar-benar gila! Karena pada saat acara pernikahan
dilaksanakan, aku masih berada di Pare. Masih ada hal yang harus kuselesaikan.
Tentu itu membuatku dilema. Dilema yang aneh namun tercampur rasa bahagia
dan juga rindu pada kampung halaman. Aku benar-benar ingin pulang saat itu.
Mengambil cuti mengajar, lalu pulang selama beberapa hari.
Namun setelah kupikir-pikir, dengan berat hati kupastikan bahwa aku
tak bisa menghadiri pernikahan kakak tertuaku. Selain karena masalah waktu,
biaya, dan jadwal mengajar yang padat, dengan berat hati untuk kesekian kalinya
kuucapkan dalam hati bahwa aku benar-benar tak bisa ikut. Sungguh, ini menjadi sebuah dilem.
Dilema yang kedua datang saat kakak kedua bertanya, “Nanti pulang
enggak pas kakak menikah?”
“Kalau mau, nanti tiket pesawat aku belikan. Santai aja.”
Sebelumnya sudah kutetapkan bahwa aku tak akan datang, tapi ketika
kakak kedua menawarkan bantuan, keyakinanku goyah. Kini aku memikirkan kembali
keputusanku.
“Ayolah.” Ucapnya. “Cuman sekali seumur hidupnya kakakmu nikah, masa’
kau gak datang? Tipis kali rasa persaudaraanmu.”
Kubaca pesan tersebut berkali-kali, yang tadinya bimbang berubah
jadi geram. ‘Tipis kali rasa persaudaraanmu.’ Apa maksudnya coba? Dengan begitu
mudahnya kakak kedua menyimpulkan jika aku tak bisa hadir ke acara pernikahan,
maka aku adalah orang yang tega, yang tak peduli pada keluarga. Aku semakin yakin
dengan keputusanku bahwa aku tak akan pergi. Lalu kujelaskan satu-persatu alasanku.
Namun yang namanya kakak yang sedang membujuk adiknya, tak mengenal kata jera. Terus
dia menggoda dan mengatakan kata-kata yang menyakitkan. Mungkin baginya itu
biasa saja, tapi dia lupa bahwa kebencian seringnya bermula dari hal-hal yang
diucapkan, yang dianggap sepele oleh orang yang mengatakannya, namun memiliki
dampak yang serius dan pecahlah keributan.
Terus dia menggodaku dengan kata-kata yang menyakitkan. Bosan aku
berdebat dengannya, aku mengadu ke ibu, aku suruh dia menelpon ibu dan
berbicara langsung agar dia tahu apa alasanku tak pergi.
Benar saja, waktu itu dia langsung menghubungi ibu, dan ibupun
menjelaskannya. Tak lama, dia akhirnya paham dengan apa yang ibu katakan. Drama
siang hari antara kakak dan adik pun selesai dengan ibu sebagai penengahnya.
**
Selama ini mungkin banyak orang yang menganggap bahwa aku orang yang
terlalu santai, cuek dengan sekitarnya, dan bodo amat kepada setiap hal. Aku
memang seperti itu, tapi tak seluruhnya. Mungkin banyak juga yang menganggap
bahwa aku orang yang kuat, yang kuat menghadapi apapun. Tapi tak seperti yang
kau lihat dengan mata, aku adalah orang yang rapuh, bahkan dari dalam, aku lebih
rapuh dari sebuah kertas basah yang bila kau beri sedikit tekanan pada
permukaannya akan langsung tercerai-berai. Aku lebih rapuh dari itu.
Aku lebih sering tersakiti dengan kata-kata biasa dari pada hinaan
yang menyakitkan, sungguh. Dengan meragukan statusku di dalam keluarga,
meskipun itu lumrah hanya sebatas candaan, tapi itu benar-benar menyakitiku.
Ternyata tinggal seatap selama belasan tahun masih belum cukup untuk memahami
isi hati setiap orang.
Penyesalan karena tidak dapat hadir di pesta pernikahan semakin
menjadi-jadi setelah itu. Aku merasa seperti adik yang benar-benar durhaka yang
kelewat Jahannam sampai tak bisa menghadiri pernikahan kakaknya sendiri. Aku benar-benar
hina. Aku pun menyesal karena telah memutuskan untuk tak bisa datang, bukan,
aku bukan menyesal karena aku tak bisa hadir, tetapi aku menyesal karena
memberitahu alasan kepada kakak kedua kalau aku tak bisa datang dan hingga
terjadilah drama keluarga. Itulah yang kusesalkan dan menjadi penyeselanku.
**
Waktu terus melaju dan terhitung sudah hampir seminggu berlalu sejak
hari pernikahan kakak pertamaku. Penyesalan sesekali datang, biarkan saja, seiring
berjalannya waktu nanti juga hilang dan aku lupa. Namun luka yang ditinggalkan
mungkin tidak. Masih akan terus membekas dan terbuka lebar.
Penyesalanku
Reviewed by Rizali Rusydan
on
August 11, 2019
Rating:
No comments: