Bukan kali
pertama apalagi kedua ketika anak manusia berusaha melangkah lekas dia menemukan
sebuah dinding kokoh yang berdiri tegak di hadapannya sebagai halangan. Bahkan
untuk orang biasa sepertiku. Bukan, bukan, ini bukan kali yang pertama apalagi
kedua.
Bukan kali
pertama juga di saat kau putuskan untuk berjalan kau tersandung batu, kerikil,
yang bertebaran di jalan. Bukan, bukan, ini bukan kali pertama maupun kedua
bahkan untuk orang biasa sepertiku.
Seakan-akan itu
semua adalah sebuah ujian, atau juga cobaan, yang diberikan oleh seseorang
kepada setiap manusia yang berusaha berubah.
**
Salah seorang
musisi legendaris di dalam lirik lagunya pernah mengatakan, “So I start
revolution from my bed… ‘Cause you said the brain I had went to my head…”
Aku kira persis seperti yang dia ucapkan bahwa perubahan biasanya bermula dari
tempat ternyaman dimana kau berada dan menurutnya tempat itu adalah: ‘tempat tidur’.
Aku sedikit paham dengan apa yang dikatakannya. Seakan-akan semua pola
perubahan yang dilakukan manusia memang berasal dari tempat yang sama, ‘tempat
ternyaman’ mereka.
Tapi tidak
demikian. Hampir serupa namun sedikit berbeda.
Kurang lebih aku
paham dan tahu tentang apa-apa saja yang harus kulakukan dengan serius,
misalnya: menulis. Aku selalu menggenggam erat impianku menjadi penulis. Tak
peduli trend berubah dan segala jenis profesi menguntungkan juga berubah, aku
masih tegak berdiri mempertahankan mimpi masa muda yang konyol, yah agak
lumayan konyol memang.
Tapi apa kau
tahu cobaan dan ujian yang kurasakan selama aku menulis naskah buku pertama?
Cobaan dan ujian datang dalam bentuk yang beragam dan berupa-rupa. Mereka semua
datang, menerjang, hingga menyesakkan dada, memberatkan langkah, terkadang sulit
kubayangkan kalau semua itu datang dari orang-orang terdekat. Terkadang sungguh
benar-benar sulit kubayangkan kenapa semua itu bisa datang dari orang terdekat.
Aku ingin
mengadu, juga mengeluh, tapi semua keluhan hanya bertahan sampai di
kerongkongan tak sempat tersampaikan bahkan saat dengan seorang teman yang
menurutku pas untuk mendengarkan segala keluhan. Kalaupun semua keluhan tersebut
keluar, bisa kupastikan itu hanyalah kulit atau puncak kecil dari sebuah gunung
es raksasa yang tak sengaja menyembul keluar ke permukaan, yang ternyata jauh
di dasar terdapat bagian yang jauh lebih besar. Temanku juga pernah bilang, “dunia
tak butuh keluhanmu.” Karena itulah aku lebih sering memendamnya.
Lalu yang
berikutnya.
Setelah dua
bulan mengajar di Kampung Inggris, aku mulai sedikit paham bahwa salah satu cara
untuk mewujudkan hal yang kuimpikan adalah dengan menyelesaikan kuliahku
terlebih dulu atau keluar dari sana dan mempelajari hal yang ingin aku pelajari.
Meskipun beberapa
orang menganggap bahwa hidup adalah sebuah perjudian dan untuk itu kau harus
mengambil langkah nekad yang mungkin sedikit tidak masuk akal demi mendapatkan
hal yang kau inginkan, tentu, aku percaya itu, tapi aku tak senekad seperti apa
yang kukatakan barusan.
Maka dari itu
aku memilih opsi pertama. Kembali ke Lampung dan menyelesaikan kuliahku
terlebih dahulu, lalu setelah semua itu selesai, aku kembali ke pare mempelajari
hal yang ingin kupelajari.
Namun disinilah apa
yang kukatakan sebelumnya terjadi. Aku kembali menemukan dinding tebal dan
kerikil yang menyusahkan langkah. Niat menyelesaikan kuliah secepatnya terbentur
dinding tebal, tersangkut kerikil tajam, aku kecewa. Kenapa dan kenapa hal yang
sama dan dengan siklus yang sama selalu terjadi di saat seseorang mulai menetapkan
tujuan untuk berubah? Apakah ini sebuah ujian untuk menguji tekad kita—orang
yang ingin berubah?
Belum lagi
permasalahan asmara yang tidak sesuai dengan idealisme masa muda. Ketika cinta dan
idealisme tak sejalan, haruskah aku memilih salah satu di antaranya? Terbentur
dinding tebal, tersandung kerikil tajam saja sudah menyusahkan, lalu haruskah? Kenapa
tidak bisa sekali dua? Mengapa kita harus mengenal dua sisi yang berbeda di
saat yang sama? Baik-jahat, baik-buruk, baik-brengsek, kenapa kita hidup di
antara dua pilihan?
Silahkan beri
aku alasan dan pengetahuan bagaimana aku bisa hidup dengan keduanya tanpa harus
memilih salah-satunya.
Tersandung (lagi dan lagi)
Reviewed by Rizali Rusydan
on
August 13, 2019
Rating:
Ada dua kemungkinan yang akan terjadi saat saya selesai memposting komentar ini: pertama, penulisnya akan tahu, lalu membaca, entah dibaca serius ataupun hanya sekilas dan melompat-lompat. Saya juga tidak bisa memprediksi bagaimana ekspresi dan reaksinya nanti. Apakah dia akan tersenyum? Terkikik? Atau bahkan marah dan kecewa karena dia mungkin menganggap tindakanku ini adalah sesuatu yang teramat konyol dan naif? Jujur saja, saya tidak peduli. Saya hanya ingin menulis. Saya rindu menulis. Sejak di sini, buku diary yang kubawa dari rumahpun tak pernah kujamah. Saya marah pada diri sendiri, kecewa pada jiwaku, karena terlalu lemah untuk kalah pada kesibukan dan hiburan. Dan komentar ini adalah kesempatan bagiku untuk bisa menulis lagi, walau memang tidak terlalu panjang. Bukan diriku yang seperti biasanya.
ReplyDeleteKemungkinan kedua, si empunya tulisan tidak membaca komentar ini. Dan mungkin tidak akan pernah membacanya. Ya, memang kemungkinan kedua ini akan sangat menyakitkan jika 'seandainya' terjadi. Ketika kau sudah meluangkan dan mengerahkan semua waktu dan pikiranmu untuk menulis panjang-panjang di kolom postingan ini, tapi oleh si penulis malah tidak dibaca. Tapi, tujuanku bukan itu, dan saya tidak akan seperti itu. Kalau dipikir-pikir, kasus ini sama seperti kasus ketika kau berkomentar di akun media sosial para selebritas atau tokoh-tokoh terkenal lainnya. Kau hanya ingin berkomentar, tidak peduli si selebritas itu akan membalas atau menyentuh ikon 'love' pada komentarmu. Kau tetap akan merasa biasa saja. Setelah berkomentar, kau akan melupakannya, seperti angin yang berlalu cepat. Intinya, kau hanya ingin mengungkapkan rasa dan sesuatu di pikiranmu.
Lalu, apa tujuan sebenarnya saya menulis komentar ini? Jawabannya telah kusebutkan di awal tadi. Kalau Anda lupa, silakan baca kembali, ada di paragraf 1.
Ya, saya hanya ingin menulis. Lagi. Dan kebetulan---di waktu yang tepat, di hari libur, di mana kesibukan 'agak'sedikit mereda, Anda memberikan peluang itu pada saya. Dan saya---entah kenapa, merasa tertantang untuk menyelami peluang itu.
Saya ingin sedikit bercerita.
Saya punya kakak sepupu laki-laki yang sangat dekat dengan saya. Dulu, kami sering bermain bersama, mengadu domba ikan bitte (cupang) bahkan mengembangbiakkan ikan-ikan cantik itu, bersepeda bersama mengelilingi kota, bermain catur & dam, perang bantal, main bukutangkis, dan berebut menonton televisi karena dia suka Scooby-Doo, sedangkan saya ingin menonton Teletubbies. Kakakku itu lahir di Hari Sumpah Pemuda tahun 1997.
Mungkin karena pengaruh kebersamaanku dengannya menjadikan saya lebih senang dan lebih nyaman untuk berteman dengan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Saat sekolah, saya punya banyak teman laki-laki.
ReplyDeleteDi keluarga intiku, saya menjadi anak tertua, tapi di sini, saya beralih posisi menjadi anak termuda. Saya punya banyak kakak laki-laki: Kak Silo, Kak Fakhri, Kak Irvan, Kak Hanif, Kak Kamore, Kak Alan, Kak Yono, Kak Waris, Kak Muhlisin, Noval. Termasuk Anda juga.
Mungkin karena kedekatan emosional itu (mengasumsikan bahwa Anda adalah sama seperti kakak sepupu saya), membuat saya selalu dan terlalu senang hingga banyak yang salah mengartikan ekspresi dan reaksi saya. Apalagi, saya adalah tipe orang yang sangat bersemangat dan heboh jika bertemu dengan orang-orang yang seminat dan sehobi. Semakin lebarlah peluang terjadinya kesalahpahaman, bahkan hingga terjadi 99% full of negativity. Semoga Anda bisa menangkap apa yang kumaksud.
Buku Catatan Harian Adam & Hawa dan Kisah-Kisah Lain karya Mark Twain yang 'DIPINJAMKAN' kepada saya telah rampung kubaca. Saat baca pesan Anda untuk saya di halaman awal-awal, saya sangat tertohok dan tertampar dengan kalimat Anda, "Aku lebih baik membeli buku, daripada makanan." Sayangnya, saya belum sampai pada tahap itu. Antara beli buku dan makanan, saya lebih pilih makanan :(( Tahukah Anda, saya mendengarkan lagu Banda Neira - Sampai Jadi Debu, 5 Second of Summer - Wherever You Are & Amnesia saat membaca buku itu. Dan yeah, saya suka kombinasi antara lagu dan bukunya. Pas.
Saya suka salah satu kutipan yang ada di halaman 33, "Betapa hal remeh dapat membahagiakan kita sewaktu kita merasa bahwa kita sudah mendapatkan kebahagiaan itu!"
Juga ada banyak hal yang kudapatkan dari bukunya, baik-jahat, baik-buruk, baik-brengsek.
ReplyDeleteBerbicara tentang dua sisi---baik-jahat, baik-buruk, baik-brengsek yang telah kupelajari dalam buku yang telah Anda 'PINJAMKAN' (saya terlalu malas menulis judulnya lagi karena terlalu panjang, lol, tapi sebenarnya kalimat yang ada di dalam kurung ini justru lebih panjang, lol lagi), kita memang harus bersinggungan dan mengalami keduanya. Karena dua sisi itu selalu berjalan beriringan, layaknya sepasang sepatu ataupun sepasang sandal. Kita pernah berada pada titik rendah, tapi sewaktu-waktu akan beralih ke titik tinggi. Kita pernah miskin, namun karena usaha dan dosa yang tak pernah putus, kita berhasil menjadi kaya. Kita selama ini sehat-sehat saja, tapi adakalanya kita jatuh sakit, tak berdaya. Semua sudah punya pasangannya masing-masing. Sama seperti keberadaan laki-laki dan perempuan.
Kita tidak bisa memilih di antara keduanya, karena kita mengalami keduanya. Yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki respon kita terhadap mereka. Apakah kita mampu bertahan dan tak goyah? Apakah kita punya usaha untuk menolak hal-hal negatif yang masuk ke diri kita lewat orang-orang toxic? Ataukah justru kita hanya duduk termenung, larut dalam pikiran rancu, serta membiarkan hati dan otak menjadi rapuh termakan semrawutnya kita memikirkan seberapa banyak kesulitan dan kesedihan, tanpa mau menoleh sebentar pada kebahagiaan-kebahagiaan yang telah lalu atau yang sedang menanti.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteINI YANG BENAR DAN LENGKAP. TOLONG DIBACA LAGI.
ReplyDeleteSaya tidak tahu bagaimana cara mengoreksi komentar sebelumnya, jadi kusalin ulang di sini :(
Anda tidak sendiri. Anda bukan satu-satunya. Anda punya ayah, ibu, kakak, adik, om, tante---keluarga itu paling utama. Anda juga punya banyak teman di luar sana. Anda punya banyak siswa yang selalu berterima kasih telah diajarkan banyak ilmu. Mereka semua menyayangi Anda.
Oke, mungkin ini adalah jawaban singkat atas pertanyaan yang Anda ajukan di paragraf terakhir postingan ini.
Anda mau kuberitahu sebuah rahasia? Oh, tidak, ini terlalu 'wah' untuk dikatakan sebagai sebuah rahasia. Baiklah, sebut saja ini adalah 'fakta yang belum sempat terungkap'.
Saya pernah bilang, kalau nama 'Dini' hanya digunakan oleh orang-orang dalam keluarga, tetanggaku, eh TK juga. Sedangkan 'Al, Aldi, Aldin, Aldini' digunakan oleh orang-orang yang mengenalku di rentang waktu SD-SMP-SMA hingga sekarang. Entah kenapa, saya suka memiliki nama panggilan yang banyak dan dipanggil dengan banyak variasi nama, wkwkwk.
Di sini, saya memperkenalkan diri sebagai 'Al', dan orang-orang juga memanggilku Al. Tapi, satu-satunya orang yang secara gamblang memanggil dan menyebut saya dengan nama 'Aldini' saat di sini hanyalah Anda. Apa alasannya, kalau boleh tahu? Apakah Al tidak bisa menggambarkan gender saya? Atau sebaliknya, nama Aldini lebih terkesan cantik atau feminin? Atau... Anda melakukan itu tanpa alasan? Jujur saja, ketika Anda memanggil saya dengan nama Aldini, saya selalu teringat dengan teman-temanku di Sulsel. I miss them :(
Saya ingin meminta satu hal pada Anda. Ini mungkin terdengar lebih konyol lagi. Jadi, kuputuskan bahwa ini bersifat opsional saja.
Jadi begini, saya, kan, sudah membaca beberapa tulisan Anda. Yang perlu digaris bawahi, tentu saja saya membacanya murni karena saya penasaran dan tertarik, bukan karena paksaan atau tekanan. Pertanyaannya, maukah Anda memberi umpan balik pada saya? Maksudnya, sudikah Anda membaca karya saya juga?
Saya bukannya ingin pamer atau menyombongkan diri. Tapi saya hanya ingin mengetahui respon, kritik, ataupun saran dari Anda, sebagai sesama penulis. Tidak lebih dari itu. Jika Anda setuju, Anda bisa tulis 'A'. Kalau tidak, tulislah 'B'.
Terakhir, waktu satu bulan sepertinya tidak cukup untuk kita mencurahkan segala hal, pemikiran, dan perasaan. Satu per satu kakak-kakakku pergi: Kak Fakhri, Kak Hanif, Kak Yono, Kak Irma, Kak Dina, Kak Fitri, Kak Nadia. Dan Anda juga. Semakin berkuranglah teman ngopi Kelas Bacot.
Dan untuk buku yang 'DIPINJAMKAN', tenang saja, akan kujaga dan kurawat dengan baik, seperti anak sendiri.
-A-
*doa
ReplyDeletewaaa it's been a while! komen selalu dibaca tapi kadang memang keadaan yang gak mendukung. aku paling benci kalau sudah berkata 'keadaan' seakan-akan sebagai manusia aku terikat, tak bebas. tapi tak apa.
ReplyDeletenanti ya aku baca setiap buku yang udah diterbitkan.
lagi kebanyakan buku, kemungkinan bulan depan ke gramedia.
Aldini? orang-orang entah mengapa selalu menanyakan pertanyaan maupun alasan atau adakah makna filosofis di baliknya. tapi tak apa, bertanya adalah salah satu proses filosofis. Mungkin karena sudah terbiasa sejak dulu kalau manggil seseorang dari nama depannya atau setidaknya 4 kata (yang paling gampang diingat) dari beberapa kata yang tertera dinama.
Aku selalu menunggu kabar baik selanjutnya!