Kalau nggak bisa jadi pemenang jadilah pecundang. Tak apa menyandang gelar hina sebagai pecundang karena biasanya merekalh yang selalu tertawa di akhir cerita. Pecundang licik yang melancarkan segala cara demi mendapatkan sesuatu. Mungkin itulah yang dipikirkan para buaya sebelum merebut pasangan orang.
Buat kalian yang belum baca cerita sebelumnya: Buaya Jantan
Aku nggak paham dengan apa yang ada di pikiran para buaya ketika ingin merebut pasangan orang. Ya, walaupun hubunganku hanya sebatas pacaran, seharusnya mereka sadar. Yang bukan milikmu tidak akan pernah jadi milikmu. Mengambil milik orang lain lalu menjadikannya itu milikmu, lekas akan kembali meninggalkanmu suatu waktu. Itu hukum alam. Tak dipelajari di sekolah namun aku kira siapapun tau.
Sejak SD kita belajar tentang budi pekerti di pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kalau dulu lo pernah ngaji madrasah, lo bakal belajar tentang akhlak di pelajaran Aqidah Akhlak. Sejak kecil kita diajarkan untuk hidup rukun dan saling bantu. Bukannya diterapin, malah jadi brengsek. Udah nggak berbudi pekerti, kurang akhlak lagi. Kebanyakan cabut pas pelajaran Aqidah Akhlak, ginilah jadinya. Pas udah dewasa akhlaknya minus.
**
Selama beberapa waktu, instagram Vanesa kembali seperti dulu. Jauh dari gangguan buaya yang minta nomor whatsapp dari dm instagram. Tidak ada lagi yang nge dm-dm minta nomor, apalagi basa-basi nanya kabar. Semuanya kembali seperti sedia kala.
Terkadang kita lupa bahwa badai yang dahsyat biasanya muncul dari laut yang paling tenang. Ketenangan bermedia-sosial langsung sirna saat sebuah pesan masuk ke direct massage instagramnya Vanesa.
Pesan masuk yang bertuliskan "Kamu gimana kabarnya?" Pas dibaca, ya, itu pesan dari sang buaya.
"Baik.".
"Hehehe.. baguslah."
"Kamu gimana? Masih sama doimu yang sekarang?" tanyanya kembali.
Dari sini kita bisa tau kalau orang yang pengen ngerebut pasangan orang itu biasanya tolol. "Kamu masih sama doimu yang sekarang?". Kalau pertanyaannya gitu, berarti udah jelas dong, kalau dia masih pacaran. Jadi ngapain ditanya lagi? Basa-basi yang tak perlu. Kebiasaannya orang Indonesia. Seharusnya nanyanya tuh gini, "Kamu masih sama doimu yang dulu?"
Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, bukan buaya namanya kalau tidak jeli dalam melihat peluang. Memang sudah sifat bawaan buaya. Mau buaya beneran, maupun buaya jadi-jadian.
Di alam, buaya menyerang mangsanya tak hanya sekali, namun berkali-kali. Bahkan, saat mangsanya sudah mati pun, mereka masih melakukan Death Roll (putaran kematian) hanya untuk memastikan kalau mangsanya benar-benar udah mati. Itu buaya sungguhan, beda kalau buaya jadi-jadian. Buaya jadi-jadian biasanya menyerang mangsanya berkali-kali walaupun sudah pernah ditolak sebelumnya. Untuk memastikan kalau kali ini si mangsa sudah luluh dan mau memberikan nomor whatsappnya sehingga sang buaya bisa mulai mendekat.
"Tolong ya, privasi. Risih kalau ditanya-tanya kek gini. Lo nggak ada kerjaan apa?" balas Vanesa ketus.
"Yaudah, iya, maaf."
Vanesa lantas memberitahuku. "Barusan dia hubungin aku. Biasa, nanyain kita masih pacaran apa nggak. Aku balas aja cuek habis itu kubiarin. Risih tau, ditanyain itu terus."
"Aku liat ya isi pesannya." ucapku.
"Yaudah, sana lihat. Kalau dia nanya, kamu aja yang bales. Aku udah males."
Vanesa pun bad mood.
Maklum. Cewek memang begitu. Terkadang sulit memahami isi pikiran mereka. Seakan-akan ada sebuah labirin besar yang penuh liku dan tanya di kepala mereka. Butuh pengetahuan yang luar biasa, sensitifitas dan rasa peka yang tinggi untuk memahaminya dan sialnya semua kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh kebanyakan pria. Tapi yang jelas, kali ini aku paham kenapa dia begitu. Buaya sudah mengganggu ketenangan dan terlalu mengusik kehidupan pribadinya. Wajar kalau itu membuatnya risih.
Aku pun mengambil alih dan membalas pesan-pesannya. Sebagai cowok, aku paham bagaimana jalan berpikir seorang buaya. Sederhana. Wanita adalah piala. Semakin sulit kau mendapatkannya, semakin berharga ia. Apalagi kalau kau mampu merebutnya dari pasangannya, itu akan membuatnya jauh lebih berarti.
"Gak bisa banget ya Ca, aku minta nomor kamu?
"Walaupun please banget?"
Aku membalasnya dengan sopan seperti yang tertera di gambar.
Saat mendekati wanita, cowok itu jalan pikirannya sederhana. Kalau tak mampu mendapatkannya, jadilah yang membekas di hatinya. Gak apa walau harus menjadi orang yang menyebalkan. Selama dia mengingatmu, tujuannya pun berhasil, hanya tinggal menunggu ending.
Aku berusaha sebisa mungkin membalasnya dengan sopan. Aku ingin membuatnya sadar dan mengakui kesalahannya. Kalau bisa, buatlah dia mempermalukan dirinya sendiri. Karena tidak ada yang lebih memalukan di dunia ini ketimbang dipermalukan oleh diri sendiri.
Kamu enggak perlu marah apalagi sampai memakinya. Serius. Semakin kamu marah, maka semakin dia berpikir kalau kamu peduli, punya waktu untuk meladeni. Yang kita perlukan adalah menutup kesempatan untuk dia berpikir seperti itu. Menganggap kalau kamu ada waktu, kalau kamu peduli pada ucapannya. Membalas semua pesannya dengan santun, lalu memaksanya untuk menyadari perbuatannya sendiri adalah balasan sempurna bagi para buaya.
Selengkapnya:
Epilog
Semenjak saat itu, ia tidak pernah lagi menghubungi Vanesa. Mungkin udah sadar, mungkin juga sedang menunggu kesempatan lainnya. Entahlah. Empat minggu berlalu, buaya tak pernah lagi mengganggu dan kuharap akan terus seperti itu.
Buaya Jantan #2
Reviewed by Rizali Rusydan
on
December 23, 2020
Rating:
No comments: