Gak ada habisnya kalau kita bicara soal media sosial. Baik instagram, twitter, facebook, maupun TikTok. Selalu saja ada perdebatan. Seolah-olah, panggung debat selalu tersedia 24 jam. Kolom komentar selalu ricuh menampung komentar dan opini. Pro dan kontra akan selalu ada. Di media sosial, berdebat sudah menjadi hal biasa. Yang diperdebatkan pun soal selera: "Lebih enak mana, bubur diaduk atau enggak?". "Kamu Tim Han Ji Pyeong atau Nam Dosan?" Sampai Hinata jadi janda pun perdebatan ini enggak akan kelar.
Tapi satu hal yang pasti, media sosial adalah media paling toxic. Tempat paling beracun yang pernah diciptakan manusia setelah Chernobyl. Semula tujuannya dibuat hanya untuk bersenang-senang, kini berubag jadi tempat untuk saling serang, adu kepintaran, semua hal diperdebatkan. Umpan-umpan dilempar, gosip-gosip dilambungkan, aib bertebaran menunggu untuk dibongkar, netizen pun berbondong-bondong datang; menyambut umpan, melahap gosip, dan tak sabar menunggu aib untuk segera dibongkar. Dan ya, semua itu memang kesukaannya netizen Indonesia di sosial media.
Selain nasi, kini gosip menjadi makanan pokok kita. Tiada hari tanpa gosip. Sehari aja enggak gosip, bibir pecah-pecah, tenggorokan kering, sariawan. Jenis kebutuhan kita pun bertambah, bukan lagi: sandang, pangan, papan, tapi juga ghibah.
Berita kontroversi laris manis. Mendatangkan atensi, mendatangkan banyak traffic dan memancing perdebatan untuk kembali terjadi. Dan memang itu tujuannya. Gimana caranya bisa ngumpulin orang, niatnya sih buat diskusi, tapi kenyataannya yang terjadi adalah menghakimi. Bukan buat beropini, tapi bergosip.
Dan kalau ditanya, siapa sih orang paling menyebalkan di media sosial? Aku berani bilang kalau orang yang baru tau adalah orang paling menyebalkan di media sosial. Mereka ini selayaknya utusan yang baru menerima firman Tuhan. Merasa paling benar, tidak boleh disalahkan apalagi didebat.
Orang yang baru tau itu norak. Merasa seolah-olah jadi orang yang paling berhak berbicara., paling penting opininya. Benar apa yang Ernest Hemingway pernah ucapkan, "Orang membutuhkan 2 tahun untuk berbicara, namun lima puluh tahun untuk belajar tutup mulut."
Biasanya, orang-orang yang benar-benar tau, benar-benar ahli, cenderung lebih diam. Gak perlu menjual opini di setiap keributan. Gak ada gunanya juga. Gak sibuk nyari atensi apalagi validasi. Dikatain keren, open minded, berwawasan luas. Mereka enggak butuh itu.
Berhubung kita sudah terlanjur memiliki akun media sosial, aku rasa kita sudah cukup dewasa dan bijak dalam menanggapi setiap perdebatan yang sedang viral di media sosial. Meskipun kadang berat rasanya untuk bisa menahan diri, pengen ikutan nimbrung, tahan, biarkan saja mereka. Kita tidak perlu ikut dalam perdebatan mereka. Karena semua perdebatan di sosial media itu polanya sama.
- Aku benar, kau salah.
- Aku menang, kau kalah.
- Aku pinter, kau goblok.
- Aku superior, kau inferior.
Berdebat bukan lagi sebuah media tukar-tambah informasi, melainkan ajang untuk adu kepintaran. Belakangan benar kata pepatah, "Tong kosong nyaring bunyinya". Artinya, "Orang tolol biasanya paling banyak omong."
"Tapi, Ini kan bisa melatih kita untuk berani beopini.Ini freedom of speech, loh!" Bener. Setiap orang punya kebebasan beropini. Namun belakangan apa yang kau lihat dari kebebasan selain melahirkan banyak pertikaian? Katanya bebas berpendapat, tapi begitu ada pendapat yang enggak sependapat denganmu, malah diserang.
Semenjak negara kita melek internet, banyak kehidupan kita yang berubah. Dulu, sumber informasi masih sangat terbatas. Hanya sebatas koran ataupun televisi. Jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Sekarang dengan bermodalkan ponsel pintar, sekali tekan, kau dapat mengeliling dunia. Dengan sekali klik, kau bisa tau tentang apa yang sedang terjadi di Amerika. Dengan sekali klik, kau juga bisa tau keadaan negara-negara di benua Afrika. Namun sayangnya, kita tidak menggunakannya seperti itu. Kita lebih suka menggunakannya untuk sesuatu yang tidak perlu.
**
Kamu terlalu berisik sebagai orang bodoh. Mungkin itulah kalimat paling tepat untuk menggambarkan kondisi kita sekarang. Kita terlalu suka beropini tapi enggan memahami. Kita lebih suka menghakimi, ketimbang saling mengerti. Mungkin bukan cuma kamu, tapi juga aku, atau bahkan kita semua memang dasarnya terlalu berisik. Kita terlalu berisik sebagai orang bodoh.
Semoga di tahun 2021, kita bisa lebih bijak dalam bersosial media. Panjang umur hal-hal baik yang ada di dunia.
Kamu Terlalu Berisik Sebagai Orang Bodoh
Reviewed by Rizali Rusydan
on
December 31, 2020
Rating:
No comments: