Kita enggak pernah tau kapan akan mati. Kematian datang bersama kehidupan, dan siapapun yang hidup, pada akhirnya akan menemui kematian. Kita hanya harus berdamai dengannya, memeluknya selayaknya teman lama yang akhirnya berjumpa.
Lalu apa gunanya hidup jika tujuannya adalah mati? Ada. Membuatnya lebih berarti. Kematian bukanlah sebuah kegagalan dan seseorang yang mati bukan pula seorang pecundang. Itu takdir yang tak satupun di dunia ini bisa hindari. Membuat hidupmu berarti bisa jadi sebuah alasan yang semua orang harus capai.
'Menjadi berarti' bukan berarti harus menjadi orang yang paling kaya, menjadi yang paling bahagia, memiliki banyak pengikut di instagram, bukan. Menjadi berarti tidak sedangkal itu. Ini tentang legasi dan apa yang hendak kau warisi sebelum meninggalkan dunia ini. Jika tidak mampu berarti bagi banyak orang, setidaknya berarti bagi diri sendiri, orang terdekat, maupun mahluk hidup lainnya.
**
Kita enggak akan tau betapa berharganya sesuatu jika sesuatu itu belum direnggut dari kita. Kita sering mengeluh perihal ibu yang cerewet ketimbang mendengar apa yang ia ucapkan. Kau pun mulai berpikir betapa leganya tinggal di rumah bila seminggu tanpa ibu. Doamu terkabul. Ibu wafat tak lama setelah itu. Dia pergi, kali ini tak hanya seminggu, namun selamanya. Dia pergi selama-lamanya darimu.
Kini tidak ada lagi yang mengganggumu. Seharusnya kau hepi karena akhirnya bisa sendiri, namun nyatanya, kau merasa sepi. Kau mulai merindukan omelannya, betapa cerewetnya ia saat memarahimu, bahkan bodohnya kau berharap untuk melihatnya hidup kembali. Selepas ditinggal Ibu, barulah kau tau apa arti seorang ibu dan betapa berartinya dia bagimu.
Terkadang, kita perlu dicela agar tau artinya menghargai, kehilangan dulu baru akhirnya peduli dan ketika satu-persatu hal lenyap darimu, barulah kau sadar betapa berharganya itu bagimu.
**
Di awal bulan maret, sebelum kasus pertama virus corona diketahui di Indonesia, aku memutuskan untuk merawat seekor kucing. Saat itu dunia sedang digegerkan dengan munculnya wabah virus corona dari China. Virus ini pun mulai tersebar ke negara-negara Eropa, benua Amerika, Indonesia hanya tinggal menunggu waktu. Dan benar, beberapa minggu kemudian kasus 01 corona pun terungkap. Pemerintah Indonesia pun langsung mengeluarkan pemerintah karantina mandiri atau isolasi diri mandiri.
Selama masa isolasi, mustahil orang tidak stres. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, beberapa usaha terpaksa tutup karena larangan beroperasi di tengah pagebluk. Aku menjadi salah satu orang yang terdampak. Sebelum masa pagebluk, aku memiliki kontrak menulis, namun karena tiba-tiba terjadi pagebluk, dan perusahaan tempatku kerja sedang kesulitan menemukan solusi bisnis selama pagebluk, kontrakku berakhir dan aku kehilangan pekerjaan. Tentunya itu membuatku sedikit stres. Untungnya, sebelum karantina mandiri diberlakukan, aku mengadopsi seekor kucing yang kuberi nama Joy. Jadi selama masa isolasi, setidaknya aku memiliki Joy sebagai hiburan.
BACA JUGA: TENTANG KUCING
Sejak Maret hingga Desember, sebagian besar waktu kuhabiskan hanya bermain dengan kucing. Sesekali teman maupun pacar berkunjung. Namun sisanya hanya kami berdua: Aku dan Joy.
Satu hal yang pasti, memelihara seekor kucing itu sulit. Meskipun kucing hewan yang jauh lebih independen dibandingkan anjing, memelihara mereka sejak usia tiga bulan, sama halnya seperti memelihara setan neraka. Meskipun di usia tersebut kucing justru sedang manja-manjanya, lucu-lucunya, di usia segitu juga mereka lagi brengsek-brengseknya. Lari ke sana ke mari tak kenal henti, nyakar-nyakar meja, manjat-manjat lemari, dan yang terparah adalah menggigit-gigit kuping kalau aku telat kasih makan.
Kalau kau menganggap semua kucing itu imut karena sering melihat tingkah konyol mereka di instagram, kau salah besar. Sebagian kucing memang imut, sisanya brengsek. Joy termasuk kucing yang brengsek.
Di instagram, kita sering ngeliat kucing-kucing imut dan pintar. Yang lidahnya suka melet, bisa diajak salaman, suka mijit, semua hal imut tersebut tidak ada pada diri Joy. Joy hanya bersikap manis saat sedang minta makan. Selepasnya, dia lupa diri dan kembali menjadi kucing yang brengsek. "Hah, lo siapa? Udah ya, jangan sentuh-sentuh aku lagi. Kamu urus aja hidup kamu sendiri, jangan urusin hidup aku."
Aku tau semua kucing itu berbeda layaknya kita manusia yang juga beda, tidak ingin disama-samakan apalagi dibanding-bandingkan. Aku pikir kucing juga begitu. Tidak peka, cuek, tidak imut, nakal, berkepala kecil, bulu tidak terlalu lebat padahal ras persia, itulah Joy. Meskipun terkadang aku jengkel kenapa kucingku tidak bisa seperti kucing-kucing mereka yang terlihat imut di instagram, tapi tak apa, aku belajar untuk menerimanya. Karena pada dasarnya semua kucing itu beda, dan semua kucing tak mau disamakan apalagi dibanding-bandingkan.
Tak terasa tujuh bulan berlalu. Gak terhitung udah berapa kali kami berantem. Aku sih, menganggapnya berantem, mungkin Joy lebih menganggapnya sebagai animal abuse. Semua perilaku jahannam sudah ia lakukan. Berakin kasur, ngencingin apalagi.
Meskipun hubunganku dengan Joy hanya sebatas majikan dan peliharaan, kenyataannya seperti aku lah yang sedang dipelihara dan diperbudak olehnya. Tiap kali dipanggil, dia tak kunjung muncul. Namun ketika dia mengeong, aku segera bergegas mendatanginya. Sepertinya Joy tidak sadar posisinya sebagai hewan peliharaan.
Kehidupan kami berlanjut. Kami melewati hari demi hari bersama-sama namun dengan cara yang berbeda. Aku dengan caraku, Joy dengan caranya.
Sampai suatu pagi, saat kulihat Joy tersedak, berusaha mengeluarkan sesuatu dari mulutnya, dan benar, tak lama berselang, muntah pun keluar. Ah, itu muntah biasa, pikirku. Wajar, kucing kan memang punya siklus muntah, yang gunanya untuk mengeluarkan semua bulu yang tak sengaja tertelan.
Karena sudah terlanjur bangun, lantas kuisi mangkuk makannya yang kosong, sekalian kubersihkan juga mangkok minumnya, lalu kembali tidur. Muntah biasa, tak usah dipikirkan.
Namun, beberapa jam kemudian, aku kembali mendengar suara yang sama, suara Joy muntah. Aku kembali bangun dan memeriksanya. Tidak sama dengan yang sebelumnya, kali ini dia kelihatan begitu lemas dan sewaktu kuperiksa mangkuk makan dan minumnya, keduanya masih terisi penuh, seperti tak disentuh. Saat itu aku langsung berpikir kalau dia sedang sakit.
Karena dia kelihatan begitu lemas, aku pun berinisiatif untuk menyuapinya. Namun dia menolaknya, mencium-cium makanannya dahulu, lalu kembali muntah. Kali ini benar-benar gawat. Sesakit apapun dia, biasanya dia akan tetap makan. Aku langsung menghubungi dokter hewan yang kukenal dan membuat janji untuk pemeriksaan.
Setelah diperiksa, Joy didiagnosa terjangkit suatu virus. Aku sempat khawatir. Semoga bukan virus panleo yang mematikan. Ia didiagnosa terkena radang tenggorokan. Itulah penyebab mengapa dia selalu muntah sehabis menelan makanan. Jujur, menelan makanan saat sedang radang tenggorokan itu sama menyiksanya seperti menelan kulit durian. Sakitnya bukan main.
Semenjak sakit, Joy berubah drastis. Dari yang sebelumnya kurang ajar, menjadi sangat memperihatinkan. Dia berjalan begitu pelan dan lemas, seolah-olah ada batre yang baru saja tercabut dari badannya. Sorot matanya lemah, dan seharian hanya tidur. Kalaupun bangun, itu hanya untuk muntah. Makan mesti disuapin. Keadaanya sungguh memprihatinkan. Meskipun dia kerap memuntahi barang-barangku, bukannya jengkel, aku kasihan. Joy terus begitu selama berhari-hari.
Di saat yang sama, aku mulai merindukan Joy yang dulu. Joy si kurang ajar, Joy yang tak tau adab. Kami tidak lagi bermain apalagi bertengkar. Aku ingin melihatnya seperti dulu. Yang berlarian kesana-kemari, manjat ini manjat itu. Saat ini Joy sedang sakit dan inilah saatnya aku harus menunjukkan betapa berartinya dia bagiku, dan betapa berartinya aku baginya. Aku yakin dia paham dengan maksudku barusan.
Rutinitasku pun bertambah. Dari yang sebelumnya hanya memberi makan dan minum, bertambah menjadi membereskan muntah.
Namun anehnya, di sela-sela merawatnya dan membersihkan muntahnya, justru aku teringat kepada Ibu. Mungkin inilah yang dirasakan Ibu ketika merawat anaknya yang sakit. Manusia justru lebih kompleks ketimbang kucing, lebih rewel, banyak mau, dan kalau lagi sakit, manja dan gabisa ditinggal. Mungkin beginilah susahnya Ibu ketika merawatku sakit, saat aku muntah lalu berceceran di lantai, makan harus disuapin, dan lainnya. Walaupun merawat kucing tidak bisa dibandingkan dengan sabarnya ibu merawatku dulu, melalui Joy aku sadar bagaimana susahnya menjadi Ibu.
Di tengah-tengah rasa duka dan malang ini, aku jadi lebih menghargai hidup, menghargai betapa berharganya jasa Ibu, betapa pentingnya Ibu bagiku, begitupun dengan kucingku. Semua ini justru semakin menambah rasa sayangku kepada meeka berdua.
Aku percaya semua mahluk hidup itu berharga. Karena dari mereka kita bisa banyak belajar. Melalui Joy, aku jadi banyak belajar bagaimana menjadi seseorang yang berarti. Meskipun kita, manusia, mengaku sebagai mahluk paling adi kuasa di dunia, kenyataannya kita memang tak bisa hidup sendirian. Kita masih bergantung kepada mahluk hidup lainnya, kepada hewan, kepada tumbuhan. Kita bukan siapa-siapa tanpa mereka dan itu cukup untuk menunjukkan bahwa semua mahluk hidup berharga.
Ya, semua mahluk hidup memang berharga dan aku percaya.
Semua Mahluk Hidup Berharga
Reviewed by Rizali Rusydan
on
December 15, 2020
Rating:
No comments: