Selama pacaran, aku belum pernah sekalipun cemburu buta. Sekalipun. Aku pikir tak ada gunanya juga cemburu buta sama pasangan. Awalnya. Sampai aku bertemu dia--Vanesa, pacarku sekarang. Namanya Vanesa. Nama lengkapnya sengaja tak aku sebutkan. Biar hanya aku, orangtuanya, saudaranya, teman-temannya, dan kepala sekolahnya saja yang tau.
Semenjak menjalin hubungan dengan Vanesa, jujur, duniaku serasa jungkir balik, porak-poranda, berubah 180 derajat. Baru kali ini aku punya pacar seperti dia. Mungkin ini adalah karma karena aku mendapatkan apa yang kumau.
Dari dulu, aku selalu mengidam-idamkan sesosok wanita yang selain cantik rupanya, mandiri, ia juga bebas atas perasaannya. Aku menginginkan wanita yang sebelum mengenalku, dia sudah lebih dulu mengenal dirinya. Sebelum kenal aku, dia sudah lebih dulu mengatasi kesendiriannya. Yang sebelum kenal aku, ia sudah bisa mengatasi kebosanannya. Jadi ketika dia bersamaku, dia tetap menjadi dirinya. Tidak berbeda apalagi berubah. Ketika kesepian, sekalipun tanpa aku, dia tau bagaimana harus mengatasinya. Dan ketika dia bosan, dia tau harus berbuat apa. Bagiku itulah wanita yang merdeka. Tidak mengandalkan apalagi berpangku tangan pada pasangannya. Aku memang hadir untuk mengurangi kebosanan dan kesepiannya. Tapi itu sementara. Bukan selamanya. Kamu pasti mengerti maksudku kan, Vanesa?
Jika harus menceritakan semua hal tentangnya, tiga hari tiga malam belum tentu aku selesai menceritakan semua kisahnya kepada kalian. Kalau menurutmu itu berlebihan, tak apa. Aku juga enggak peduli. Toh, kami yang menjalani. Orang luar lebih baik diam dan baca. Jangan ganggu.
Vanesa. Pacar paling keras kepala se-dunia. Jika di hubungan sebelumnya aku lah yang selalu menjadi bajingan keras kepala yang tak mau mengalah, kini aku menemukan dia yang seimbang. Tak hanya keras kepala, dia juga jago berantem. Gimana enggak, dari SD udah ikut latihan karate bahkan sampai kuliah. Daripada bonyok-bonyok dipukulin tiap kali berantem, lebih baik aku diam, ikuti kemauannya. Bercanda. Dia enggak sebrutal itu kok. Paling kalau lagi ngambek, mecahin batako.
Secara kepribadian, kami bertolak belakang. Parah. Ibarat air dan api. Aku percaya hanya air lah yang mampu memadamkan api dan hanya api pula yang mampu melenyapkan air. Tidak ada gunanya melaga api dengan api apalagi air dengan air. Dia keras, aku lembut. Dia kalem, aku cerewet. Berbeda tapi saling membutuhkan.
Tapi itu pula yang bikin hubungan kami jadi semakin seru. Mencintai ketidaksempurnaan. Bersama karena tau berbeda bukan karena sama. Karakter, sifat, tidak apa kalau saling bertolak belakang. Ibarat dua kutub magnet yang berbeda. Tidak mungkin sebuah magnet bersatu dengan kutub yang sama. Positif dengan yang positif, negatif dengan yang negatif. Harus beda. Harus ada yang menjadi positif dan ada yang negatif. Bersama bukan karena persis sama. Karena kalau begitu ceritanya, lebih baik aku pacaran dengan diriku sendiri. Sudah pasti diriku persis sama denganku.
Dia juga orang yang keras kepala, tak mau kalah, susah untuk mengucapkan maaf. Bahkan sangking susahnya, kalau kita lagi berantem, setelah dia mengaku kalau dia lah yang bersalah, pada akhirnya aku juga yang terpaksa minta maaf. Sepertinya kata "maaf" sudah hilang dari otaknya.
Dia juga cuek, namun anehnya terkadang cemburuan. Tapi semua itu masih dalam batas wajar. Dan yang paling aku suka darinya adalah dia tidak mau terlalu terikat, tidak sibuk nanya di mana, ke mana, sama siapa, tidak. Itulah sosok dan sifat wanita yang selama ini aku idam-idamkan. Ah, beruntung bisa bersamamu, Vanesa.
Selama bersama dia pula, Aku bisa jadi yang sebenar-benarnya Aku. Aku boleh menjadi apapun yang kumau. Tidak dituntut untuk menjadi siapapun. Akhirnya aku paham maksud ucapannya Haruki Murakami yang bilang, "Yang paling sakit dalam proses mencintai adalah kehilangan diri sendiri." Bersamanya, aku bisa menjadi diriku tanpa kehilangan itu.
Dan ya, enggak terasa kita udah dua tahun bareng. Meskipun sampai hari ini aku masih suka lupa-lupa ingat dengan tanggal kita jadian, tapi apa pentinya itu semua? Banyak cerita, drama, yang datang dan pergi silih berganti mengisi. Seru. Rasanya seperti naik Roller Coaster. Mendebarkan karena ada naik-turun. Hubungan kita pun begitu. Diisi dengan naik-turun, nikung, cepat dan lambatnya kisah yang terjadi di antara kita berdua. Yang pada akhirnya itu semua membawa kita menuju pemberhentian terakhir kita, menuntun kita pada satu kata, yaitu: berpisah.
Kita tau kalau pacaran itu pada akhirnya menuntun kita pada perpisahan. Entah itu berpisah karena putus ataupun menikah. Tapi aku cukup keras kepala. Aku harap bisa bersamamu, selalu. Baik kini juga nanti. Dan kalaupun hal buruk, perpisahan yang tidak kita harapkan terjadi, aku harap semua itu cuma mimpi.
Di hari bertambahnya usiamu, meski sudah telat satu hari, doaku juga harapanku, semoga kita bisa sama-sama menua bersama. Meskipun banyak di luar sana yang bilang kalau pacaran itu hanya buang-buang waktu, jangan percaya. Itu hanya akal-akalan mereka. Itu sebab akal dan pikiran mereka yang terlalu sempit. Padahal rebahan, buka instagram, twitter, maupun social media lainnya, juga sama buang waktunya. Jadi, kamu, Vanesa, enggak usah takut apalagi rugi karena menghabiskan waktu bersamaku. Toh, di sini kita bebas. Kau bisa menggeluti duniamu dan melakukan apapun yang kau mau. Meskipun tidak ada aku di sisimu, aku tau ada aku di hatimu.
Jadi jangan percaya kalau ada yang bilang kepadamu pacaran itu hanya buang-buang waktu. Palingan dia hanya iri. Pacaran itu buang-buang waktu, kalau pacarmu toxic. Dan aku yakin aku bukan pacar yang toxic kan, Vanesa?
Terima Kasih Sudah Bersamaku (Semoga Selalu dan Selamanya)
Reviewed by Rizali Rusydan
on
April 20, 2021
Rating:
No comments: