Sudah setahun sejak terakhir kali aku menulis tentang musik. "Patah Hati Bersama Eric Satie" adalah tulisan pertamaku yang membahas tentang itu. Artikel tersebut kutulis di bulan Agustus tahun lalu tepatnya di tahun 2019. Tentu sangat beresiko bagiku untuk mengulasnya. Mengingat aku sendiri tidak memiliki latar belakang yang mumpuni untuk mengulas sebuah karya seni khususnya musik. Untuk itu, maafkan aku jika ada kesalahan penggunaan istilah yang tidak tepat. Aku yakin kita semua udah cukup dewasa untuk saling membenarkan ketimbang menyalahkan. Perbaikilah aku jika aku salah.
**
Satu tahun berlalu sejak terakhir kali aku memutuskan mengulas musik yang kudengar. Tentu ada perasaan ngeri dan khawatir. Aku takut ulasanku merubah citra musik itu sendiri. Aku tidak ingin menghina Chopin, Eric Satie, Debussy, Zimmerman, Mozart, maupun musisi lainnya, yang karena ulasanku, karya mereka jadi terdengar buruk. Keindahan mereka abadi. Meskipun aku sendiri ragu pada sesuatu yang abadi.
Aku percaya tidak ada yang abadi. Setidaknya di dunia ini. Termasuk karya seni. Banyak yang bilang kalau seniman akan terus hidup jika karya seninya masih ada yang menikmati. Tak peduli sudah berapa lama mereka mati, ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu, selama masih ada orang yang menikmati, mereka abadi.
Namun apa yang terjadi jika kita semua mati? Seni mati. Musik mati. Kebudayaan mati. Semuanya mati. Maka tidak akan ada yang namanya 'abadi'. Siapa yang akan menikmati karya seni jika si karya dan penikmatnya sendiri mati? Tapi itu soal nanti karena aku sendiri tidak tau kapan kita semua mati.
Sulit kiranya mengetahui apa yang akan terjadi. Bahkan menebak satu menit yang akan kita lalui. Daripada sibuk dan pusing sendiri memikirkan apa yang belum terjadi, aku lebih memilih menikmati apa yang saat ini sedang kualami. Sesederhana merenung ketika ada waku luang, misalnya. Duduk diam di bawah sinar bulan sambil menerawang.
Baca juga: Patah Hati Bersama Eric Satie
Aku yakin kalian pasti pernah setidaknya satu hari dalam hidup ini ingin menyendiri, duduk di teras, merenung, sambil menengadah ke bulan yang sepi. Melupakan sejenak apa yang telah terjadi, hanya merenung sendirian. Aku yakin kalian pasti pernah menginginkannya.
Merenung itu sudah seperti hal wajib bagiku. Merenung bagiku seru apalagi ketika malam hari. Kenapa harus malam? Soalnya, malam itu aneh. Ada saja hal yang membuat kita kepikiran itu pasti munculnya ketika malam. Otak kita juga aneh. Ketika malam, sesaat ingin memejamkan mata, mendadak ia memunculkan 1000 pertanyaan yang membuat kita terngiang-ngiang. Anehnya lagi, pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya muncul ketika malam hari, tidak pernah mereka muncul saat kita ingin tidur siang. Hanya ketima malam. Pertanyaan-pertanyaan sederhana namun menuntut jawaban. Sesederhana, "Aku rindu?", "Tapi rindu sama siapa?" Alhasil kau pun mulai merenung dan memikirkannya. Sialnya, hal tersebut sering membuatku jadi sulit tidur hingga akhirnya bergadang. Dan semua itu hanya bisa dijawab ketika kita merenung. Mungkin itulah yang menjadikan malam selalu terasa lebih panjang. Dan itu pula yang membuat malam jadi terasa spesial.
Pada saat merenung itulah biasanya aku mendengarkan alunan piano klasik. Pergi ke teras, menghisap rokok, sambil menengadah ke langit malam. Sesulit apapun hari, semuanya akan terasa lapang tiap kali aku melihat bulan. Pagi hari bukan kesukaannku. Meskipun pagi katanya sumber rezeki, kalau bisa memilih, aku ingin lebih banyak hidup di malam hari. Saat bumi senyap, lalu lalang orang menghilang, yang tersisa hanya kau, sinar bulan, dan kesunyian. Aku lebih memilih hidup seperti itu.
Jika kalian memiliki kebiasaan yang sama, yaitu merenung sambil melihat bulan, bolehlah kiranya sambil mendengarkan alunan piano-piano klasik. Clair de Lune: Claude Debussy, misalnya. Mendengarkan Clair de Lune sambil merenung melihat bulan bisa menjadi pilihan utama yang harus kalian coba. Coba dengarkan. Maka kau tidak akan menyesalinya.
**
"Clair de lune" pada awalnya berjudul "Promenade sentimentale". Nama ini terinspirasi dari judul puisi karya Paul Verlaine. Clair de Lune merupakan judul gerakan ketiga dari Bergamasque Suite yang juga diambil dari puisi Verlaine "Clair de lune", yang mengacu pada syair pembuka salah satu puisinya:
Votre âme est un paysage choisi
Que vont charmant masques et bergamasques
Jouant du luth et dansant et quasi
Tristes sous leurs déguisements fantasques.
Kalau diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi:
Your soul is like a landscape fantasy,
Where masks and bergamasks, in charming wise,
Strum lutes and dance, just a bit sad to be
Hidden beneath their fanciful disguise.
Jadi, Clair de Lune sendiri adalah salah satu judul dari 4 gerakan di dalam rangkaian permainan piano (piano suite) Suite bergamasque (L. 75) Claude Debussy. Bergamask sendiri kalau mengutip dari Merriam Webster artinya adalah tarian rakyat di wilayah Bergamo, Italia utara, yang populer terutama pada abad keenam belas.
Suite bergamasque (L. 75) adalah piano suite karya Claude Debussy yang juga menjadi salah satu karyanya paling terkenal.
Komposer awalnya tidak mau menggunakan komposisi piano ini karena gaya permainannya yang dinilai tidak cukup dewasa. Tetapi pada tahun 1905, dia menerima tawaran dari penerbit yang percaya dan mengira mereka akan berhasil mengingat ketenaran yang diperoleh oleh Debussy selama lima belas tahun berselang. Meskipun tidak diketahui berapa banyak Suite yang ditulis Debussy pada tahun 1890 dan berapa banyak yang ditulisnya pada tahun 1905.
Suite ini terdiri dari empat gerakan:
- Prélude (Moderato tempo rubato, F major, 4/4)
- Menuet (Andante, A minor, 3/4)
- Clair de lune (Andante très expressif, D♭ major, 9/8)
- Passepied (Allegretto ma non troppo, F♯ minor, 4/4)
Dari semua gerakan yang terdapat pada Suite Bergamasque (L.75), aku rekomendasikan kepada kalian untuk mendengar gerakan yang ketiga: Clair de Lune. Apalagi kalau saat itu kalian sedang merenung melihat bulan. Debussy seolah-olah bisa menerawang jauh ke masa depan dan tau kalau suatu saat musik yang ia ciptakan bakal berguna bagi orang-orang yang senang merenung atau bahkan sekedar menikmati sinar bulan.
Bahkan Perusahaan animasi terbesar dunia, Walt Disney, juga mengakuinya. For your information, "Clair de lune" pada awalnya dimaksudkan untuk dimasukkan sebagai bagian yang sepenuhnya diatur dalam film animasi Fantasia Walt Disney pada tahun 1940. Namun, karena masalah runtime, akhirnya tidak jadi dimasukkan dalam potongan akhir film.
Seperti namanya Clair de Lune (Sinar Bulan), entahlah, aku merasa sangat sentimentil tiap kali mendengarnya sambil menerawang ke arah bulan. Seolah-olah aku ikut terbawa ke dalam suasana sunyi, sepi, yang ditimbulkan darinya. Mungkin memang kesan sepi itu yang ingin Debussy timbulkan. Mungkin di suatu malam, saat ia sedang sendirian, tiba-tiba saja dia merasa kesepian. Untuk menghibur diri dari kesepian tersebut, ia pun mulai keluar melihat bulan. Ia bermaksud berbagi kesepian yang sama dengan Sang Bulan. Mengingat, betapa sepinya hidup menjadi seorang manusia namun lebih sepi lagi kalau harus menjadi bulan, yang selama ini hidup sendirian di luar angkasa, yang suka atau tidak suka, bahkan ia sendiripun tak dapat memilihnya, tugasnya adalah menyinari kita ketika malam. Tanpa kenal lelah dan tanpa mau diupah. Berangkat dari pengalaman tersebut, Debussy pun mulai memainkan pianonya dan terciptalah Clair de Lune.
Kita pun sebagai manusia sejujurnya terlahir dengan semua kesepian itu. Tak terhitung berapa banyak manusia yang ada di sekitarmu, jika kau merasa sepi, maka sepilah. Maka tak heran bilamana ada beberapa orang yang merasa kesepian meskipun berada di tengah keramaian. Akulah salah satunya. Namun kesepian tidak akan terasa begitu menyeramkan jika ada musik yang kau dengarkan. Di situlah Clair de Lune: Debussy hadir. Melalui permainannya yang lembut, ia hadir memberikan warna yang seolah mengatakan kalau kesepian itu tidaklah begitu mengerikan. Hal itu membuatku terhibur. Meskipun aku kesepian setidaknya aku sambil dengar lagu. Terima kasih Clair de Lune karena sudah menemani malam-malam sepiku.
Namun belakangan sejak aku kembali ke Medan, aku sadar kalau bulan sudah semakin sulit untuk dilihat dengan mata telanjang. Ia terhalang awan dan kabut polusi. Semoga ke depannya manusia bisa jadi semakin ramah dengan lingkungan sebelum akhirnya menyesalinya karena tidak bisa lagi melihat bulan dikarenakan ambisinya yang tamak.
**
Sebelum menutup tulisan ini, aku ingin berpesan. Meskipun kita membaca buku yang sama, kerap kali kita memahami arti dan maknanya berbeda. Semua itu tergantung dari bagaimana kau merasa dan memahaminya. Begitupun dengan mendengarkan musik. Kita bisa mendengar musik yang sama, tapi makna, arti, rasa, yang kita tangkap boleh jadi beda. Setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam hal memaknai.
Menikmati Sinar Bulan Bersama Debussy
Reviewed by Rizali Rusydan
on
May 28, 2021
Rating:
No comments: