Komentar terbaru

Melihat Hidup di Usia 20-an


Aku selalu percaya kalau hidup itu bukan lomba. Bukan tentang siapa cepat, dia menang. Siapa yang duluan punya rumah, dia bahagia. Siapa yang duluan punya mobil, aset, harta, serta tetek bengek lainnya, dia yang berhasil. Aku selalu meragukan hal tersebut.

Terserah kau mau setuju atau tidak. Bagiku hidup tidak sesederhana mencari uang lalu jadi kaya. Aku sendiri sudah menutup mata dari semua itu. Bukan berarti aku tidak ingin kaya, bukan. Kaya itu harus. Cari uang itu mesti. Tapi bukan itu tujuan utamanya. Uang, status, hanyalah alat. Yang namanya alat pasti memiliki fungsi dan tujuan. Maka gunakanlah uang dan status itu untuk mencapai tujuan utamamu. Untuk menciptakan sebuah perusahaan 'kuda bertanduk' agar bisa membuka banyak lapangan pekerjaan misalnya. Boleh saja. 

Namun hidup akan terasa berat. Terlebih saat kau berusia 20-an. Semuanya terasa jadi begitu nyata. Harus 'realistis' kalau kata mereka. Mimpimu besar. Tapi di saat yang lain sudah mulai bekerja, kau masih kuliah. Bahkan beberapa temanmu ada yang sudah menikah. Melanjutkan hidup ke fase berikutnya. Sedangkan kau masih bergelut dengan buku pelajaran seolah-olah tak ada habisnya. Di saat mereka mulai menghidupi mimpi, kau masih bermimpi.

Itu aku. Aku lah orang yang masih kuliah dan masih bergelut dengan buku pelajaran itu. Di saat mereka terus bergerak, aku hanya jalan di tempat. Tak berpindah. Di saat mereka terus maju, aku seolah diam dan mematung sambil menatap punggung mereka yang meninggalkanku semakin jauh.

Menjadi dewasa adalah jebakan. Jebakan yang tidak seorang pun dapat menghindarinya. Jebakan bagi mereka para pecundang yang terlalu nyaman dengan masa lalunya. Namun tantangan bagi mereka yang berniat untuk terus berkembang. Entah kau merasakannya atau tidak, fase awal menuju dewasa adalah fase yang paling menyakitkan. Dan itu semua terjadi ketika kau berumur 20. Ya, meskipun kedewasaan tidak ditentukan oleh umur, tapi umur 20 adalah awal dari kegetiran semua ini.

Di usia 20, hidup akan menjadi sangat realistis. Semuanya, entah mengapa terasa begitu nyata. Semua ketakutan, kecemasan yang kau khawatirkan, di fase ini semuanya kejadian. Kegagalan, putus cinta, pengangguran, beban keluarga, semuanya akan terjadi dan mau tak mau harus dilalui.

Saat berumur 20, aku mulai sering meragukan banyak hal. Termasuk diriku sendiri. Aku selalu ragu. Apakah yang kulakukan ini benar? Aku juga sering bertanya dan berpikir tentang kehidupanku. Lagi dan lagi. Namun semakin dipikir-pikir, semakin cemas jadinya. Jadi semakin bingung dan semakin khawatir.

Di periode waktu yang sama, banyak orang seusiaku sudah bekerja. Sudah menikah bahkan. Teman-temanku pun begitu. Sedang aku, masih terikat di bangku kelas, masih bergelut dengan buku pelajaran. Meskipun sama-sama bergerak dan berproses, kalau kita tanya pada setiap orang, hidup siapa yang lebih baik, Aku Si Mahasiswa atau Temanku Si Pekerja, pastilah mereka memilih Si Pekerja. Sudah jelas. Temanku menghasilkan uang, sedang aku malah sibuk menghabiskannya. 

Orang bebas saja menilai siapa yang lebih baik, siapa yang lebih sukses. Itu terserah mereka. Namun semua penilaian mereka, sejujurnya tidak berarti apa-apa bagiku. Aku lebih takut pada diriku sendiri ketimbang komentar dan penilaian orang. Karena gagal dan berhasilnya aku ditentukan oleh diriku sendiri. Bukan komentar apalagi omongan orang. Untuk itulah aku lebih takut dengan diriku sendiri.

Bagi mereka aku tertinggal. Dan itu benar. Itu semua karena kegagalanku di kuliah sebelumnya. Gagal kuliah adalah kegagalan terbesar pertamaku selama hidup di dunia. Karena itu pula aku jadi merasa tak berdaya. Kehidupanku serasa ambruk. Semua yang kuimpikan hilang sudah. Aku gagal. Kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan yang kupikirkan sebelumnya semakin terasa nyata.

Kau akan melalui semua ini saat berumur 20. Meskipun tidak persis sama. Salah satunya: hidupmu akan mulai dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang usianya sama. Atau dibandingkan dengan teman sebaya yang sudah bekerja, punya rumah, dan kaya. Di saat itu pula kau akan melihat hidupmu dengan kehidupan mereka lalu mulai membandingkan. Kau pun mulai merasa tertinggal. Lalu stress tak karuan.

Sesulit apapun hidup bagimu di usia 20, teruslah hidup. Terlalu memikirkan pencapaian orang lalu membandingkannya dengan pencapaianmu sendiri tak akan menyelesaikan masalah dan tak akan ada habisnya. Pada akhirnya kau akan stress sendiri. Jadi buat apa terlalu memikirkannya? Lakukan apa yang menurutmu baik sambil terus memperbaiki hidup.

Teruslah bergerak meskipun selambat kura-kura. Teruslah melangkah dan bertindak. Asal kau terus bergerak, pada akhirnya kau juga akan sampai. Ingat, hidup bukan lomba lari. Yang siapa cepat, dia menang. Siapa yang paling duluan kaya, dia yang bahagia. Tidak. Hidup itu H-I-D-U-P. Hanya lima kata sederhana. Namun kenapa kau rumit memikirkannya? Seolah-olah hidup harus selalu diisi dengan keberhasilan dan kalau tidak berhasil, bukan hidup namanya. Pada akhirnya, akhir dari hidup adalah mati. Jadi untuk apa terlalu memusingkan semua ini?

Sudahi kegelisahanmu mari lakukan yang kau mau. Sudahi kecemasanmu mulai dari yang sederhana dulu. Sudahi ketakutanmu karena yang kau takutkan belum tentu akan terjadi. Teruslah hidup. Teruslah berusaha sampai tetanggamu mengira itu adalah hasil pesugihan. Namun jangan lupa untuk terus hidup menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia.
Melihat Hidup di Usia 20-an Melihat Hidup di Usia 20-an Reviewed by Rizali Rusydan on June 01, 2021 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.