Komentar terbaru

Kita Sempat Berada di Gerbong yang sama, Lalu Berpisah, dan Menuju Jalan yang Berbeda


Aku enggak nyangka kalau hari ini akan tiba. Hari di mana aku bisa dengan bangga bercerita tentang kehidupan kuliahku beberapa tahun lalu. Jujur, aku sendiri malu. Karena semakin tua umurku, rasanya semakin aneh untuk nyeritain kehidupan pribadiku. Di satu sisi, sayang juga kalau semua cerita itu dibiarkan begitu saja berlalu. Berhubung rasa maluku tidak sebesar rasa inginku untuk bercerita, hal ini pun aku tulis.  Mungkin aku juga akan menjadi sedikit sentimental di cerita ini.

Masih segar di ingatan hari di mana kita sama-sama mendapatkan nilai E untuk ujian Fisika, Matematika, maupun Kimia. Standar penilaian yang terlampau tinggi, ditambah kemampuan otak yang enggak mumpuni, pada akhirnya itulah yang membuat nilai kita berakhir dengan tragis.

Kampus kami masih terhitung baru. Diresmikan tahun 2012 dan baru mulai beroperasi tahun 2015. Berhubung kampus baru, maka ITB pun diminta untuk menjadi pengasuhnya. Maka dari itu, mulai dari dosen, standar penilaian, materi yang diajarkan, kurikulum yang digunakan, 80% mengikuti standarnya ITB. Hasilnya? Jomplang! Hampir satu angkatan nilainya berakhir mengenaskan. Dari satu angkatan yang berjumlah 400 orang, hanya puluhan yang lulus ujian. Sisanya tragis. Kalau enggak 0, ya 1, dan itu otomatis "E". Ini membuktikan kalau tingkat pendidikan antara Jawa dan Sumatera masih cukup timpang.

Kampus kami juga masih belum sebesar yang sekarang. Fasilitasnya masih cukup sederhana. Hanya ada satu gedung kuliah, dua gedung administrasi, serta gerbang kampus yang megah. Gerbang itulah yang selalu kita banggakan.  Lucu rasanya mengingat kita yang terlalu bangga pada gerbang itu. Padahal, beberapa langkah setelah kau melewatinya, yang terlihat hanyalah hamparan tanah dengan rumput liar sejauh mata memandang. Benar-benar kosong.

Waktu itu masalah kita juga masih sederhana. Hanya berkutat soal nilai yang buruk. Jangankan dapet nilai bagus, untuk sekedar lulus pun sulit. Namun itu tak mengecilkan niat kita. Di semester dua, kita kembali berusaha. Walaupun hasilnya tetap sama, tragis dan mengenaskan, tapi setidaknya kita sudah berusaha. 

Lanjut di semester tiga. Hasil buruk di semester satu dan dua masih menghantui kita semua. Namun kali ini, kita sudah menjadi sedikit lebih dewasa, lebih kebal rasa sakit, dan sudah tau cara mengatasinya. Di semester ini, mau tak mau kami harus berusaha lebih keras. Mengingat ini merupakan kesempatan terakhir. Karena kalau masih tidak lulus di pelajaran dasar seperti: Matematika, Fisika, Kimia, maupun salah satunya, kami akan dikeluarkan alias drop out. 

Di kampusku, ada sebuah peraturan yang mengharuskan setiap mahasiswa baru yang ingin lanjut ke semester selanjutnya harus lulus dengan IPK minimal 2.0 dan tidak ada nilai "E" di setiap mata kuliah dasar. Jika gagal, mereka diberi kesempatan untuk mengulang di tahun kedua, di semester tiga dan empat. Namun jika masih tidak lulus juga, seperti yang kukatakan sebelumnya, kau akan dikeluarkan. Begitulah peraturannya.

Semua orang jadi terpacu. Aku pun begitu. 

Fisika, Matematika, Kimia, sudah kita anggap seperti teman. Soalnya lebih sering kita bahas di tongkrongan ketimbang obrolan lainnya. Mungkin dengan cara itu kita bisa lebih paham pelajaran eksakta. Kami juga harus mulai belajar untuk mencintai pelajaran yang kami benci. Kalaupun tak bisa mencintainya, berpura-pura mencintainya pun cukup. Karena akan sulit memahami sesuatu jika sudah terlanjur benci. Apapun mata kuliah diajarkan rasanya seperti membal dari kepala.

Waktu berlalu. Semester tiga dan empat berakhir. Sebagian besar dari kita lulus. Namun seperti yang kau tau, namanya ujian, pasti ada yang berhasil dan ada pula yang gagal. Di saat aku dan sebagian besar temanku lulus, di saat yang sama, beberapa sahabatku gagal. Sesuai peraturan, mereka dengan berat hati harus angkat kaki dari kampus. Menyakitkan memang. Tapi begitulah aturannya. Yang lulus bertahan, yang tidak keluar.

Kami berhasil membuktikan kalau kami layak untuk bertahan dan melaju ke semester berikutnya. Tentu saja hal itu meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi mereka. Namun sayang, hal itu tidak terjadi padaku. Sementara mereka jadi semakin termotivasi, justru sebaliknya, aku kehilangan itu semua. Di semester lima dan enam, nilaiku kembali terpuruk. Hasil baik di semester lalu ternyata tidak sebanding dengan rasa sakit yang kualami karena kehilangan sahabat-sahabatku. Hal itu berpengaruh besar pada motivasi dan tekadku.

Selama masa-masa sulit, hadirnya teman selalu mampu meringankan beban. Sesulit apapun keadaan akan lebih baik jika dilalui bersama. Lalu apa gunanya berjuang jika kita hanya sendirian?

Sebenarnya bukan hanya aku yang merasa kehilangan. Teman-temanku yang lain juga merasakan hal yang sama. Kami sama-sama ngerasain rasanya kehilangan teman, sahabat. Ada yang berhenti kuliah karena terkendala biaya. Ada pula yang berhenti kuliah karena merasa enggak sanggup dengan pelajarannya. Namun mereka biasa saja. Seolah-olah merasa tidak terjadi apa-apa. Bukannya kalian merasakan hal yang sama seperti yang kurasa? Lalu kenapa diam saja? Pura-pura merasa tidak terjadi apa-apa dan merasa kalau semuanya baik-baik saja. Aku muak dengan sikap pura-pura kalian. Kalian membuatku muak!

Rasa frustasi tersebut mencapai puncaknya di semester tujuh. Aku enggak tahan dengan apa yang kurasa. Sedih, jengkel, campur aduk jadi satu. Apa jangan-jangan aku saja yang terlalu berlebihan? Aku tau apa yang kurasa dan tau bagaimana harus menyuarakannya bukan malah bungkam. 

Maka di semester ini kuputuskan untuk cuti kuliah. Aku ingin istirahat. Menjauh dari segala aktifitas kuliah. Aku takut perasaan jengkel dan frustasi soal kuliah malah membuatku tak karuan. Ini menjadi keputusan paling berani sekaligus paling ceroboh yang pernah kulakukan. Maka saat itu kuputuskan untuk pergi ke Kampung Inggris. Biar aku bisa istirahat, liburan, sekaligus belajar.

Esoknya, aku pergi dengan diantar seorang teman. Kami berhenti di pinggir jalan sambil menunggu bus yang ingin kunaiki melintas. Tak lama, bus tiba dan aku segera menaikinya. Namun ketika akan melangkahkan kaki masuk ke dalam, di depan pintu, aku mematung dan sempat terdiam. Sebentar lagi aku akan meninggalkan semuanya. Karena begitu aku masuk, semua yang ada dan pernah terjadi di sini akan menjadi masa lalu. Baik teman maupun kehidupan perkuliahan. Aku segera melangkah masuk, duduk, dan bus pun melaju. Meninggalkan temanku di sisi jalan sendirian. Tak sekali pun aku menoleh ke belakang. 

Kurang lebih dua jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke pelabuhan. Setibanya di pelabuhan, aku langsung pergi menuju loket. Membeli tiket, berkemas, lalu menunggu jadwal keberangkatan. Jadwal keberangkatan diumumkan. Aku langsung bergegas menuju dermaga tempat kapal bersandar.

Kapal pun berlayar. Melintasi selat sunda menuju Pelabuhan Merak. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku bersender di tiang penyangga, menghisap rokok, sambil menikmati dinginnya angin malam di geladak kapal. Tak ada apapun yang bisa dilihat ketika malam selain lautan gelap yang seolah tak berdasar. 

Beberapa jam kemudian, kapal sampai di Pelabuhan Merak. Aku segera turun dari kapal lalu berjalan menuju pintu keluar pelabuhan.

Setelah keluar dari Pelabuhan Merak, aku istirahat sebentar di warung nasi terdekat untuk singgah makan. Selagi makan, aku mengisi daya handphone, menonton tv, meluruskan kaki, sambil memijat-mijat bahu yang pegal karena menyandang tas gunung belasa kilogam. Perjalananku masih panjang. Pelabuhan Merak hanya destinasi pertama. Aku masih harus pergi ke Stasiun Pasar Senen. Dari sana, naik kereta api ke Kediri.

Selama di kereta, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Sedikit hal yang kuingat selama perjalanan ini selain rasa pegal dan sakit yang tak karuan. Tiga belas jam duduk di bangku ekonomi rasanya tulang belakangku berubah lunak, pantat yang tadinya montok berubah jadi tepos kek bangku taman. Tau sendiri kereta ekonomi. Tempat duduknya lebih tegak daripada keadilan di negara kita. 

Akhirnya kereta pun tiba di stasiun Kediri. Aku segera turun dan langsung singgah ke warung terdekat untuk sarapan. Setelah semuanya selesai, barulah aku pergi menuju Kampung Inggris menggunakan ojek.

**
Aku tinggal di Kampung Inggris selama kurang lebih tujuh bulan. Tujuh bulan itu waktu yang lama. Sangking lamanya, aku sampe tau semua seluk-beluk Kampung Inggris. Mulai dari cafe, kolam renang, kursusan, bahkan kursusan yang banyak siswi cantik-cantiknya pun aku tau di mana. Setahun lagi tinggal di sini, aku bisa jadi kepala desa. 

Selain belajar, di sana aku juga aktif menjadi sukarelawan. Pergi ke desa-desa untuk mengajar anak-anak desa sekitar Bahasa Inggris. Di sana pula aku punya kebiasaan baru: merenung. Berhubung Kampung Inggris merupakan sebuah desa, di mana masih banyak sawah terbentang di sudut-sudutnya, ke sanalah aku pergi tiap kali ada waktu luang. Duduk di tengah-tengah hamparan sawah sambil merenung memikirkan berbagai macam persoalan. Merenung menurutku perlu. Karena itu salah satu cara untuk mengenal dirimu.

Selama di sana, banyak hal kupelajari. Selain Bahasa Inggris ya tentunya. Pertama, belajar itu menyenangkan jika datangnya dari hati. Sesulit apapun pelajarannya, jika itu keinginanmu, semua akan terasa mudah. Kedua, Kampung Inggris adalah tempat terbaik untuk belajar bahasa inggris sekaligus liburan. Ratusan kursusan tersebar, begitu pun dengan cafe, dan tempat hiburan lainnya. Mau belajar bisa, mau nongkrong enak, mau buat dosa apalagi. Semua orang dari berbagai macam latar belakang berkumpul di sini. Semuanya tergantung ke niat. Kalau niatmu belajar, maka ilmu yang kau dapat. Kalau niatmu bejat, tanggung akibat.

Aku harap dengan semua kesibukan itu bisa membuatku lupa dengan semua urusan kuliah. Kenyataannya tidak juga. Sesekali aku masih memikirkan itu semua. Aku memikirkan soal kuliah, kamar kosan, juga teman-temanku di sana. Naifnya aku. Tentu saja pengalaman kuliahku selama tiga tahun tidak bisa dengan mudah dilupakan begitu saja.

Setelah masa belajarku selesai, aku pun kembali ke Lampung. Namun setibanya di Lampung, aku tidak langsung kuliah. Bukan karena males, bukan. Aku merasa kalau masih banyak hal yang perlu kubereskan. Terlebih lagi itu soal diri dan perasaan. Jadi aku butuh waktu untuk membereskan itu semua. 

Aku kembali kuliah di semester sembilan. Bagaimana rasanya? Tentu aneh. Aku terlalu banyak ketinggalan pelajaran dan sudah jauh tertinggal dari teman seangkatan. Hal itu membuatku sekelas dengan adik tingkat yang berada dua tingkat di bawah. Untungnya aku bukan tipe kakak kelas yang dulu pas kaderisasi suka menindas dan gila hormat. Jadi aku enggak perlu malu kalau harus sekelas dengan mereka. Di posisiku sekarang, kau sudah boleh menyebutku sebagai mahasiswa abadi atau mahasiswa purbakala kalau perlu.

Bisa kembali kuliah itu kuanggap sebagai mukjizat. Karena di buku pedoman mahasiswa jelas disebutkan, bagi mahasiswa yang secara sengaja tidak aktif berkuliah selama satu tahun atau dua semester,  maka yang bersangkutan dianggap mengundurkan diri. Jelas, aku sudah melanggar peraturan tersebut.

Berbagai cara kutempuh agar aku bisa kembali kuliah. Mulai dari rutin menemui dosen pembimbing, kepala program studi, hingga bolak-balik gedung program studi untuk diskusi. Menjelaskan alasan mengapa aku cuti dan apa yang kulakukan selama cuti tersebut. Yang akhirnya perkara tersebut menjadi salah satu agenda utama dan dibawa ke rapat besar antara Wakil Rektor Bidang Akademik dengan Kepala Program Studi.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya hasil rapat pun diumumkan dan diputuskan kalau aku masih bisa kembali melanjutkan kuliah. Dengan syarat semester ini aku harus mendapatkan IP minimal 2.75. Jika gagal, aku harus mengundurkan diri dengan sukarela.

Bagi kalian, IP 2.75 mungkin kecil dan gampang untuk didapat. Tapi bagi kami, itu sulit. Butuh perjuangan berdarah-darah untuk bisa mendapatkan IP segitu. Makanya aku suka heran ngeliat orang yang ngeluh soal IPK padahal IPK-nya masih 3. Aduh, IP ku turun nih, dari 3.3 ke 3.1. Yaelah, cuman turun 0.2. Di kampusku, kalau lo bisa dapetin IPK segitu, apalagi lo jurusan teknik, bisa disembah lo. Di sini, IPK 1,0  pun ada. Bersyukurlah kalian mahasiswa yang IPK-nya tiga.

Sayangnya, target tersebut gagal aku penuhi. IP-ku tidak memenuhi persyaratan. Aku segera mengundurkan diri dari kampus. Kehidupan kuliahku dengan itu resmi berakhir.

Sedih, kecewa, udah jadi makanan kesukaan. Sangking sedih dan kecewanya, jujur aku sampe mati rasa. Di satu sisi, aku sibuk membesar-besarkan hati dengan mengatakan kepada diriku sendiri kalau ini mungkin memang bukan jalanku. Aku udah berusaha namun hasil yang pada akhirnya membuktikan. Aku gagal. Lima tahunku di sana berakhir sia-sia. Buang-buang waktu, buang-buang uang. Itu adalah fakta yang harus kuterima.

Cerita soal kegagalan, aku yakin semua orang pasti pernah gagal. Setiap orang pasti punya definisinya sendiri soal kegagalan. Saat itu aku merasa menjadi orang paling gagal di dunia. Meskipun aku merasa begitu, aku enggak berani bilang ke orang-orang kalau kegagalanku lebih besar, lebih parah dibanding mereka. Enggak. Itu egois namanya. Ketimbang membanding-bandingkan kegagalanku dengan mereka, yang saat ini kubutuhkan adalah merangkul kegagalanku sendiri. Berdamai dengannya

**
Kita sempat berada di gerbong yang sama, lalu berpisah, dan menuju jalan yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, kita tumbuh menjadi lebih dewasa. Meskipun kedewasaan tidak diukur berdasarkan usia, tapi dari cara kita bersikap, aku tau kalau kita sudah dewasa. Kau sibuk dengan urusanmu, aku pun sibuk dengan urusanku. Fokus kita sekarang berbeda. Kau dengan kuliahmu, aku dengan ambisi bodohku mempelajari hal-hal baru. Sekarang kita berseberangan. Baik tujuan maupun jalan yang ditempuh. Untuk mencapai apa yang kita mau, pasti butuh yang namanya pengorbanan. Waktu-waktu bersama itulah yang kita korbankan dan aku yakin kalian semua paham.

Masih segar di ingatan hari di mana kita sama-sama mendapatkan nilai E untuk ujian mata kuliah dasar. Standar penilaian yang terlampau tinggi, ditambah kemampuan otak yang enggak mumpuni, pada akhirnya itulah yang membuat nilai kita berakhir dengan tragis. Rasanya semua itu seperti baru terjadi kemarin. 

Beberapa hari yang lalu, kulihat satu-persatu teman-temanku mengunggah foto di instagram. Berdiri tegak, mengenakan almamater hitam kebanggaan, dengan selempang mengitari badan, sambil menggenggam sebuah buket bunga dan gedung kuliah sebagai latar belakangnya. Perasaanku campuk aduk saat melihat foto itu. Rasanya semua seperti baru terjadi kemarin. Hari di mana kita sama-sama dapet nilai 0 dan hampir dikeluarkan dari kampus. Tau-tau, kini kalian sudah lulus dan sudah resmi melepas titel mahasiswa yang selama ini melekat. Aku bangga! Selamat atas kelulusannya, kawan! Meskipun aku tidak bisa menjadi salah satunya, aku senang melihat kalian yang pada akhirnya berhasil meraih titel sarjana. Ini masih awal. Masih banyak kejutan lainnnya yang mungkin aku maupun kalian bakal saksikan ke depannya. Sukses selalu dan ditunggu kabar baik lainnya!
Kita Sempat Berada di Gerbong yang sama, Lalu Berpisah, dan Menuju Jalan yang Berbeda Kita Sempat Berada di Gerbong yang sama, Lalu Berpisah, dan Menuju Jalan yang Berbeda Reviewed by Rizali Rusydan on February 24, 2021 Rating: 5

2 comments:

  1. Enak banget padanan katamu met, mengalir pas dibaca.....

    sukses itu hidup met,,, dia punya cara tersendiri untuk setiap orang yang ditungganginya.

    kalau caranya sama kehidupan bakalan gak seimbang... semangat jamhead.

    ReplyDelete
  2. HAHAHA makasih No! Gak lagi mabok kau, kan? Tumben komentarmu bagus.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.