Waktu ujian telah usai. Rutinitas belajar dan menyelesaikan tugas-tugas besar akhirnya berakhir. Kini tiba waktunya untuk menikmati liburan. Semester ganjil sudah berakhir. Kampus sepi, teman-teman pergi, kembali ke rumahnya masing-masing.
Namun ada beberapa mahasiswa yang memutuskan untuk tidak kembali pulang ke tempat asalnya. Salah satunya adalah aku. Aku memang tidak pernah pulang ke rumah setiap libur semester ganjil. Meskipun liburnya lumayan lama, 3-4 minggu, bagiku itu masih belum cukup, mengingat asalku dari Medan yang lumayan jauh dari tempatku berada sekarang.
Berbeda dari libur-libur semester ganjil sebelumnya, libur semester ganjil kali ini lebih terasa. Maksudku, lebih terasa panjang dan sepinya.
Di semester ganjil tahun lalu, aku tinggal di sebuah kos-kosan yang tak jauh dari kampus. Otomatis banyak juga mahasiswa yang juga tinggal di daerah tersebut. Dan libur semester ganjilpun tidak begitu terasa bedanya. Paling hanya lalu-lalang dan riuh suara kendaraan ataupun jumlah mahasiswanya saja yang drastis berkurang. Namun untuk yang lainnya tetap sama. Toko-toko dan warung makan masih tetap buka. Itu tak menjadi masalah, malah itu menjadi waktu yang tepat untuk istirahat dan melakukan refleksi diri di tengah hingar-bingar kehidupan beberapa bulan sebelumnya.
Namun libur kali ini berbeda. Sekarang aku tinggal di sebuah daerah yang jauh dari kawasan kampus. Tinggal di sebuah komplek di mana dinding rumah dan kuburan saling berdempetan. Jadi lo bisa bayangin gimana mencekamnya suasana kalau lagi libur kuliah.
Berhubung yang tinggal di komplek tersebut kebanyakan adalah mahasiswa, kalau sedang liburan jadi terasa banget sepinya. Yang tiap malam biasanya terasa rame, sekarang tiap malamnya serasa seperti di kota mati. Kota mati di mana banyak zombie berkeliaran. Angin kencang, sepi, ditambah area persawahan yang di tiap malamnya sibuk melantunkan orkestra alam dan semakin menambah terdengar menakutkan.
Di komplek itu waktu terasa begitu lama berlalu. Tiap detiknya terasa begitu mencekik. Tiap detik serasa seperti penghinaan kepada manusia yang hidup di dalamnya. Seakan-akan tertawa karena begitu senang sudah berhasil menggregoti waktunya di dalam kesendirian.
Tak ubahnya kota mati, komplek mendadak sepi, keadaan rumah juga tak kalah sepinya hingga menimbulkan kesan seperti sudah bertahun-tahun ditinggalkan oleh sang pemilik karena buru-buru menyelamatkan diri dari suatu bencana. Segala macam benda berserakan di mana-mana. Mulai dari sampah yang menumpuk di wastafel hinggal debu lantai yang menumpuk di sudut-sudut dinding ruangan hingga tangga.
Aku tinggal sendiri di dalam rumah yang seperti itu. Sudah pasti rasa takut selalu menggregotiku di setiap malamnya. Namun lagi-lagi aku memaksa diriku untuk berpikir secara rasional. Meskipun takut, aku tak boleh dikendalikan olehnya. Semua perasaan takut itu datang dari dalam diri dan untuk itu, aku sang pemilik perasaan tersebut harus mampu mengaturnya bukan sebaliknya diatur oleh perasaannya.
Selama liburan semuanya kulakukan sendiri. Beli makan sendiri, makan sendiri, sepi pastinya, namun itu tak seburuk yang kau bayangkan. Percayalah, sendiri itu akan memberimu sebuah kenyamanan yang belum pernah kau rasakan sebelumnya. Sendirian bukan berarti kesepian. Itu dua hal yang saling bertolak belakang. Kesepian tidak selalu hadir di tengah-tengah kehidupan yang sendiri, ia juga hadir di tengah-tengah kehidupan yang ramai. Balik lagi, kesepian itu menyangkut dengan rasa. Semuanya tergantung bagaimana perasaanmu menyikapinya.
Aku sedang hidup sendiri namun menolak rasa sepi apalagi kesepian.
Hidup di Kota Mati
Reviewed by Rizali Rusydan
on
December 26, 2019
Rating:

No comments: